Monday, October 13, 2014

19

Ekspektasi publik merekah luar biasa ketika timnas u19 juara AFF. Apalagi gak lama berselang, timnas muda kita kembali sukses mengalahkan negara kuat, Korsel, untuk bisa melaju ke putaran final Piala Asia u19 di Myanmar. Sebagai negara fanatik sepakbola, tentunya Evan Dimas dkk langsung dikultuskan sebagai "Pahlawan Nasional" oleh masyarakat Indonesia. Sebuah reaksi yang wajar mengingat mereka datang seperti hujan di tengah kemarau prestasi tim nasional sepakbola Indonesia. Beberapa kali kita cuman jadi langganan finalis AFF Cup sejak jaman Bepe belom kumisan ampe sekarang udah pensiun. Edisi tahun 2000, 2002, 2004, dan 2010 adalah segelintir contoh nyata dari gambaran betapa kuatnya timnas kita sebagai sosok yang disegani oleh lawan. Sebenernya ampe sekarang pun kita masih dianggap tim kuat ama negara-negara tetangga. Tapi sayangnya seperti cerita-cerita yang dulu, kita selalu bagus di road to final dan kandas di partai puncak.

Nah, timnas u19 ini menyeruak keluar bagai bunga yang mekar di tengah tanah tandus. Mereka jadi pelepas dahaga bagi masyarakat kita yang rindu akan kemenangan. Kayaknya kita melihat secercah harapan baru di kaki anak-anak muda ini. Timnas ini dipuja-puja, begitu diagungkan sampai nama mereka bergaung ke seluruh Nusantara. Udah lama euforia ini gak terjadi sejak Christian Gonzalez dan Irfan Bachdim menjadi idola empat tahun silam. Sepakbola kita yang sempat terpuruk oleh seret prestasi, dualisme liga, dan masalah profesionalitas klub seakan menjadi hidup kembali.

Kayaknya gue gak bakalan heran kalo nantinya timnas ini bakalan kena terpaan media. Ya, dieksploitasi untuk kepentingan komersil, entah itu untuk jadi bintang iklan maupun sekedar nampang di sinetron. Klasik. Dan beberapa waktu kemudian, terbitlah film Garuda 19 yang merujuk pada kisah sukses kawan-kawan kita di gelaran turnamen internasional. Sekali lagi, gue gak kaget dan gue udah tau kalo hal ini bakal terjadi. Apa ya, menurut gue sih ini cenderung 'dipaksakan'. Iyaa siih mereka bagus gitu juara dan lolos Piala Asia...cuman kan yaa...gimana ya...masih sangat terlalu dini banget kalo kata gue sih ya... Maksudnya kan ini AFF ya...masih level Asia Tenggara... Maksudnya kalo kita bicara level tersebut, timnas lawas kita dulu-dulu juga udah pernah juara... Lolos Piala Asia? Kita juga pernah tuh. Malahan kita sempet membuat publik Asia tercengang lewat gol salto Widodo yang menjadi gol terbaik turnamen itu. Dan yang lebih penting, ini masih youth sector, belom senior. Di level under-underan kayak begitu kita juga pernah berprestasi lewat Danone Cup (semacem Piala Dunia bocah-bocah gitu).

Lantas apa yang membuat timnas u19 ini spesial ampe dibikini filmnya? Gue bukan nyalahin timnasnya, gue menyoroti tingkah laku para pemegang kepentingan yang terkesan 'norak'. We're not really here, kita masih belom apa-apa. Sekali lagi gue tekenin, ini masih level Asia Tenggara. Piala Asia pun kita masih belom berbicara banyak loh. Mungkin tujuan mereka (selain ngambil untung) adalah untuk membangkitkan semangat dan memberikan inpirasi bagi para atlet sepakbola serta masyarakat untuk terus mendukung timnas kita menjelang Piala Asia ini. Gue pikir hal-hal semacam ini malah memberikan tekanan bagi kawan-kawan kita di tim nasional. Mereka terlalu dibebani ekspektasi tinggi. Kita jangan ngomongin Piala Asia dulu deh, Hassanal Bolkiah Trophy kemaren aja yang dibilang cuman turnamen pemanasan, tim kebanggaan kita maen gak keluar. Mereka keliatan grogi. Padahal seharusnya di atas kertas kita bisa berkibar lebih tinggi dari sekedar kalah tiga kali dan pulang dengan kepala tertunduk.

Sekarang mari kita bicara Piala Asia. Tim kebanggaan kita dengan sukses tersingkir dari fase grup. Tentunya ini mengecewakan. Tapi di sini gue gak mau nganalisis secara teknis kok, apalagi mencaci maki timnas u19. Gue gak bisa jadi suporter yang naif yang pengen timnya itu menang mulu. Giliran menang dipuji, tapi kalo kalah dicaci. Kalo urusan teknis gitu yang paling ngerti ya staf pelatihnya. Gue cuman mau nganalisis dari sisi yang lain, yaitu mental. Ya, teman-teman kita itu masih muda, mentalnya belom terbina dengan baik. Singkatnya mereka masih labil. Sekarang apa yang kalian harepin dari tim yang mentalnya masih labil tapi udah dikasih beban besar? Gini ya, rata-rata tim nasional di negara-negara Eropa pada youth sector itu emang gak ditujukan untuk "memenangi turnamen". Maksudnya adalah esensi dari pembentukan tim nasional under-underan gitu adalah untuk pembinaan. Menang turnamen itu tujuan jangka pendek, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah agar mereka bisa siap untuk terjun ke jenjang yang lebih tinggi di level profesional. Makanya tim-tim di Eropa itu sengaja dibiarin maen lepas tanpa adanya tekanan-tekanan seperti itu. Dukungan tetep ada, tapi gak ampe dibikin filmnya juga. Gue gak bilang kalo film ini seharusnya di-release setelah Piala Asia, karena gak ada jaminan juga kalo film ini diayangkan sesudahnya timnas bakalan juara.

Poinnya adalah dengan mental yang masih labil tersebut, sangat jelas tergambarkan pada performa timnas bahwa mereka sudah terkena superstar syndrom. Mereka jadi center of attention, mereka superstar. Belom apa-apa mereka udah ngejalanin tur Nusantara. Oke, itu bagus, tujuannya untuk sparing, tapi faktor fisik juga harus diperhatikan. Mereka terlalu dieksploitasi. Gak cuman mental, secara otot pun mereka belum berkembang dengan sempurna. Superstar syndrom ini dampak negatifnya ada dua, either mereka jadi grogian karena terbebani ekspektasi tinggi publik, atau mereka jadi ngerasa sombong layaknya superstar. Emang gak bo'ong kalo popularitas timnas u19 ini udah sangat merajalela. Coba ketik keyword timnas di google, pasti suggestion-nya langsung mengacu ke arah timnas u19. Coba bandingin reaksi masyarakat ketika ditanya tentang Evan Dimas dan Ferdinand Sinaga. Pasti mereka lebih taunya Evan Dimas. Padahal Ferdinand Sinaga sempat mencuat namanya berkat empat golnya ke gawang Timor Leste di Asian Games kemaren. Yang gue takutin adalah superstar syndrom mereka malah kebawa ketika mereka masuk level senior. Inilah yang juga sempet dijelasin ama para pundit ESPN Indonesia. Takutnya mereka malah ngerasa lebih dari pemaen-pemaen yang lain di timnas yang tekanan dan dificulty-nya itu lebih tinggi dari u19. Mereka jadi ngerehin rekan lah, jadi besar kepala lah, ngerasa dirinya superstar yang bawaannya pengen ngomong, "Eh, siapa lo? Udah ngasih apa lo ke Indonesia?". Hal-hal semacem itu bisa ngasih pengaruh negatif bagi timnas, baik itu dari segi kekompakan di dalam dan luar pertandingan, maupun dari segi kemampuan serta mental secara individual. Gak usah pemaen kita, pemaen bintang luar negeri pun kalo udah kena superstar syndrom performa mereka jadi menurun. Adriano, Recoba, Balotelli, semua terkena superstar syndrom. Merasa dirinya menjadi pusat perhatian, kemampuan di atas lapangan jadi menurun. Mereka jadi males, entah itu gak disiplin, atau males latian. Yang ada pas pertandingan mereka jadi cuman keliatan jalan kaki dan ogah-ogahan ngejar bola.

Sekali lagi, gue gak nyalahin timnas. Gue dukung timnas, mau menang, mau kalah, pokoknya garuda di dadaku lah. Gue cuman gak setuju ama pembuatan ni film. Kita ini bukan Spanyol yang menang di tiga turnamen internasional secara berturut-turut (Euro 2008, WC 2010, Euro 2012) atau Liverpool yang menang dramatis di UCL 2005 setelah comeback 0-3 dari Milan. Dua-duanya emang punya nilai cerita untuk dibikin film (dan emang udah dibikin film ─ yang Spanyol dari sudut pandang Iniesta di Piala Dunia 2010). Nah kalo kita? Ni ya sekarang gue mau jelasin dengan komparasi ama cabang olahraga laen, bulu tangkis. Kalo misalnya dalih filmmaker kita adalah sepakbola itu olahraga populer di Indonesia yang membuat fanatisme masarakat terhadap timnas gak akan pernah padam, lah bulu tangkis kan juga gitu? Terus kalo mereka beralasan karena timnas u19 itu juara setelah 22 tahun puasa gelar + intrik PSSI terus-terusan meradang (which is membuat mereka terlihat dramatis), lah terus apa bedanya ama ganda putri kita? Ganda putri kita juga udah lama banget puasa gelar di kancah internasional (di luar turnamen series), tapi kemaren Greysia/Nitya dapet medali emas loh di Asian Games. Dan jang pikir kalo asosiasi bulu tangkis kita tanpa intrik. Dari mulai pembinaan ampe manajemennya, semua ada masalah. Apakah mereka mau dibikinin film juga? Jujur gue sedih sekaligus setuju ketika Taufik Hidayat memberikan komentar kalo sepakbola itu merupakan anak emas pemerintah. Ya coba deh bandingin anggaran untuk sepakbola dengan olahraga lain di Indonesia. Bahkan klub-klub di liga kita pun masih minta APBD. Terus prestasinya? Nihil. Gue kadang mikir, gimana ya atlet-atlet dari cabang olahraga lain melihat sepakbola kita. Dapet perhatian full tapi gak ngasih apa-apa. Ujung-ujungnya jadi bintang iklan ato maen sinetron.

Untuk ke depannya, hal-hal semacem pembuatan film kayak gini gak akan pernah bisa menganggetkan gue. Yah, gue ini tinggal di negara di mana kawinan artis bisa jadi reality show dan polisi joget bisa jadi terkenal. Dan untuk penutup, sekali lagi gue katakan kalo gue bukan tipe suporter apatis yang bisa ngejelek-jelekin timnya ketika kalah. Kritik ini untuk para pengambil keuntungan, bukan untuk atlet.