Friday, May 12, 2017

Hey Ho

Numpang share tulisan yang sangat penting bagi pertumbuhan Ekonomi bangsa Ultraman.

Tulisannya di mari.

Shareception.

Follow blognya lah, kalo mau. Kalo gak mau ya gakpapa, nyantai aja.

Thursday, May 11, 2017

Semua Semu

Jujur, gue rada males ngomongin politik, cuman...

"Ada orang yang ngebanggain kemenangan dari handicap match. ADA."

Ini ibarat 11 orang MU ngebanggaain kemenangan lawan 8 orang Persija. Pilkada DKI bagi gue terasa seperti handicap match. Tangan kosong lawan penuh senjata, 1 lawan 1.000, minoritas lawan mayoritas. Sebenernya kalo dapet kesempatan ketemu bapak gubernur yang baru, gue pengen bilang di depan mukanya, "Seandainya si Ahok itu bukan non muslim, Bapak masih yakin menang pilkada?" Ditambah dengan segala bentuk tekanan dan intimidasi (bahkan sebelum kasus Al-Maidah terjadi dengan berbagai spanduk, video, dan kampanye media sosial soal larangan memilih si kafir yang beredar), praktis ini menjadi handicap match yang timpang. Dan ada orang yang ngebanggain pertarungan yang seperti itu. Iya, ADA. Dan yang lebih lucu lagi adalah udah diwarnai aksi diskriminasi dan intimidasi sosial, si nomor 3 ini masih aja ngewanti-wanti masalah kecurangan. Ibaratnya Hardy Boyz yang udah ngegebukin Steve Blackman make bangku masih aja nyewa pihak ketiga buat ngawasin wasit biar gak ada kecurangan.

(Btw, mengenai para pelaku intimidasi, gue rada gemes aja gitu ketika kelakuan mereka udah terekspos secara terang-terangan, tapi giliran dipaparin faktanya, mereka malah denying dan nyari pembenaran. Rasanya gemes gimanaaaa gitchyuuu...)

Again, gue bukan pendukung Ahok, gue cuman rada jijik sama penjilat seperti si nomor 3 yang hobi nynyir di media. Mungkin kalo saingan si Ahok itu Ridwan Kamil, gue pastinya bakal dukung RK.

Dulu kita inget si Jokowi sempet dituduh pencitraan gegara aksi blusukannya. Laah menurut gue label pencitraan justru lebih pantas disematkan oleh duo ini yang ngomongnya suka plinplan, ngejilat, standar ganda, bermuka dua, playing "hero", playing "kutu lompat", sok inklusif, sok prolatriat, dan suka nyinyirin lawan politiknya. Semua hanya untuk meraih simpati demi kepentingan pribadi dan partainya. Belon jadi gubernur aja doi udah plinplan... Dulu pas kampanye janji bakal menghentikan reklamasi, nah sekarang katanya pengen ngegarap... Joss banget kan...

Kalo di media, si Ahok ama Djarot itu ngomongin masalah Jakarta, lah ini si nomor 3 malah ngomongin si nomor 2, belum lagi ditambah berbagai program lucu yang dipamerin. Mau sok inovatif tapi ujungnya jadi bikin geli, like, really... ((((KARTU JOMBLO))))?!

Misal yah, misaaaaal... Kalo si nomor 3 ini emang pinter, kompeten, berpemikiran lebih bagus, inovatif, punya leadership lebih oke, bisa diandelin, tidak bertopeng, dan bijak dalam ngomong serta bersikap (santun dan bijak itu beda artinya yaaaa...), mungkin gue juga akan akan ngedukung mereka. Mungkin ini kali ya esensi dari berpolitik, siapkan topeng lebih dari 1.

Tapi Pilkada udah berlalu, gue juga bodo amat juga sih si Ahok kalah, cuman rada geli aja si nomor 3 beserta pendukungnya ngebanggain kemenangan dari handicap match ini. Yah, emang politik itu bukan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah, bukan mengenai siapa yang lebih baik dan siapa yang tidak; tapi mengenai siapa yang lebih populer dan siapa yang kurang. Semua demi kepentingan. Yah, kalo esensinya kagak begini mah, harusnya Bernie Sanders yang jadi presiden Amrik.

Apa hikmah dari selesainya pilkada ini? Moga-mogaaaaaaaa khotbah Jumat provokatif yang suka bawa-bawa isu SARA itu akan hilang juga.... Harusnya kita bisa kayak Mesir yang melarang kegiatan pendakwah yang udah ketauan bawa-bawa Kristen dan Yahudi ke dalam konten dakwahnya sebagai tindakan intoleran. Padahal Mesir pada umumnya kita ketahui adalah salah satu negara dengan dasar Islam yang kuat. Kalo di sini mah orang kayak gitu bakalan dijadiin imam besar kali huehue.

Sedangkan sisi negatifnya? Gue bakalan lebih sering disuguhi berita dan foto si nomor 3 di berbagai portal berita...

Sebelom lanjut, mau gue konfirmasi lagi bahwa gue bukan secara spesifik pendukung Ahok, gue cuman ngedukung minoritas yang dimarjinalkan oleh mayoritas. Kenapa gue rada sensi sama bentuk diskriminasi sosial ini? Karena gue banyak ngeliat orang-orang Islam di barat sebagai minoritas dimarjinalkan oleh mayoritas yang non muslim. Kalo di barat, gue benci banget orang non muslim yang antimuslim, kalo di mari gue benci banget ama muslim yang antinonmuslim. Jadi kegerahan gue akan diskriminasi sosial ini bukan karena sentimen agama atau loyalitas buta, tapi semata-mata karena moralitas. Gue gak berada pada kutub mana pun, gue berada di poros tengah.

Keadilan Semu

Sekarang yang pengen gue bahas adalah soal dipenjaranya Ahok. Ya, gue juga setuju kalo si Ahok itu salah, tapi gue gak beranggapan bahwa dia udah menghina agama Islam. Ya, ini keluar dari tangan (kan gue ngetik, bukan ngomong ya) seorang yang sensitif masalah provokasi terhadap agama.  Atas alasan sensitivitas ini pula yang ngebuat gue berenti dengerin lagu-lagu Slayer, di mana gue baru tau di salah satu lagunya ada yang memojokan Islam, judulnya "Jihad". Terus ada juga si Tori Amos yang mencatut nama Nabi Muhammad di lagunya dan menyindir beliau atas budaya patriarkis yang berkembang dalam Islam (tapi kalo si Tori Amos mah gue emang ga pernah suka sih...). Ada banyak elemen barat yang gue tinggalin gegara masalah sensitivitas ini, baik itu website, film, acara hiburan, public figure, dll. Kalo aja gue punya kekuatan reality warping, pengen gue otak-atik tuh idup orang-orang yang antiIslam.

Gue sangat gak suka terhadap segala jenis penghinaan SARA, termasuk di dalamnya adalah agama, dan itu berlaku untuk semua agama, bukan cuman Islam aja. Makanya gue gak sukanya becandaan ala orang barat tuh gitu, mereka kayak gak punya batas. Gue inget dulu ada pilemnya Adam Sandler yang judulnya Anger Management. Pilemnya lumayan lucu, tapi yang bikin gue gak suka adalah bagian pilem tersebut yang mengejek agama Budha. Gue sangat gak suka sama penghinaan agama, termasuk ketika Ulama membuat lelucon tentang agama orang lain. Gue jadi teringet ama becandaan SARA temen kantor dulu. Dulu temen yang bilang, "Biarin masuk angin, daripada masuk (insert agama non muslim)" Gue pikir orang alim yang pinter agama bisa ngomong lebih baik dari itu.

Nah balik ke si Ahok, seriusan, gue nyari-nyari titik sensitivitas gue atas pernyataan si Ahok, tapi tetep gak nemu, karena "Saya makan pakai sendok" itu beda dengan "Saya makan sendok". Lagian kalo dijabarin dari struktur kalimat, apa bedanya struktur kalimat Ahok dengan si imam besar yang pernah bilang kalo ulama su' itu nipu pakai Al-Quran dan Hadist? Coba perhatikan baik-baik susunan subjek, predikat, objek, dan keterangan bendanya. Bedanya di mana? Terus kenapa yang didemo Ahok doang? Kenapa yang dituntut itu cuman Ahok doang? Wajah standar ganda.

You hear what you want to hear. Orang-orang bilang Ahok itu menista agama karena sebenernya mereka ingin mendengar kenyataan seperti itu. Kenapa? Karena bahkan sebelom kasus Al-Maidah ini pun Ahok udah diserbu oleh hatersnya. Ibaratnya si Ahok napas aja udah salah, pokoknya dia sebegai non muslim keturunan Tionghoa gak boleh jadi gubernur, apalagi mencalonkan diri lagi. Nah kasus ini istilahnya merupakan blessing in disguise bagi mereka, karena mereka jadi punya alasan yang lebih kuat untuk menjatuhkan Ahok. Sumber waras, reklamasi, dan kasus-kasus yang lainnya belon cukup untuk menjatohkan Ahok. Mereka terus menerus mencari celah untuk menyerang Ahok. Nahhhh baru deh nih setelah kasus Al-Maidah terjadi, mereka jadi punya suara yang lebih kuat untuk menjadikan musuh mereka menjadi musuh bersama. Mereka jadi punya suara yang kuat untuk memosisikan diri mereka sebagai "pihak yang benar" dan menggiring masayarakat untuk menunjuk si Ahok sebagai "pihak yang patut dibenci bersama". Lawan politik Ahok di pilkada dan masyarakat yang udah terbelenggu oleh problematika SARA menjadi amunisi baru bagi pembenci Ahok. Momen pilkada dan kasus Al Maidah adalah momentum yang tepat untuk menggulingkan si Ahok.

Gue bener-bener gak berpikir kalo Ahok itu antiIslam, apalagi khususnya setelah mengetahui segala amalan dia terhadap Islam (bangun masjid, ngehajiin orang, dll), gue jadi yakin dia bukan antiIslam, tapi cuman orang khilaf yang kepleset lidah, beda sama orang barat yang emang kebanyakan (bener-bener banyak) benci Islam. Serius, gue kesel banget sama mereka yang suka bawa-bawa pelecahan atas agama pada sesuatu yang bahkan gak ada relevansinya.

Gue pikir ada bedanya ya antara ungkapan penghinaan yang memang didasari pada rasa tidak hormat dan kebencian terhadap agama tertentu dengan perilaku salah ucap yang tidak dilandasi pada niat menghina. Kecuali kalo misalnya si Ahok itu gak pernah minta maaf, gak menyesali perbuatannya, dan malah jadi memojokan Islam secara terang-terangan, ya bolehlah dituntut.

Kalo misalnya si Ahok itu antiIslam, dia gak akan mendukung pembangunan dan praktik keagamaan Islam. Yang orang selalu bawa adalah bahwa Ahok itu melarang kegiatan keagamaan di Monas (tanpa berusaha memikirkan alasan di belakangnya), bukan ketika Ahok itu ngebangun Masjid, berangkatin orang ke tanah suci, dll. Malah lebih sering bangun masjid daripada bangun rumah ibadah agama lain.

Kembali ke masalah salah ucap, apakah si Ahok musti minta maaf? Pasti! Dan dia udah minta maaf (inget kata-kata Aa Gym yang menuntut perkataan maaf dari dia jika tidak mau dituntut hukum, tapi ujung-ujungnya malah ikutan demo dan menuntut hukum juga... yeah, we love you, Aa). Apakah dia musti dikasih hukuman? Maybe (gue bilang maybe, soalnya banyak juga orang yang menyinggung agama tapi lolos-lolos aja setelah minta maaf di depan publik. Inget dong ama kasus orang nginjek-nginjek karpet yang ada tulisan Allah-nya, tapi dia sekarang bebas jungkir balik), tapi bukan dalam bentuk hukuman penjara. Gue punya ide bahwa ia harus dihukum dalam bentuk kewajiban menyumbangkan uang pribadinya ke "misal" 51 pesantren, atau ia harus membangun 51 masjid, atau ia harus menghajikan 51 santri, atau dia musti nyekolahin 51 santri ke perguruan tinggi di negara-negara-negara Timur Tengah, dll, pokoknya banyak ide hukuman yang lebih positif yang bekaitan dengan Al-Maidah : 51 ketimbang hukuman yang sarat politis yang hanya ditujukan untuk memuaskan satu golongan aja.

Tapi hukuman udah dijatuhi oleh hakim yang sejak awal udah berat sebelah dan ciut oleh massa yang tiap Jumat suka bikin macet jalan. Hukuman yang subjektif, tendensius, dan transaksional, pun lahir. Yah, mau gimana, emang gak ada hakim yang paling selain Allah swt. Hukum manusia itu adalah hukum yang bisa dibeli, baik itu oleh duit, maupun oleh ancaman, jadi ya buat lucu-lucuan aja.

*Fun fact: 3 Hakim kasus Ahok dapet promosi sehari sebelom jatuhnya putusan hukum. Waaah... ada apa ini...

Yaudah sekarang mah terima aja, tapi 1 hal yang pengen gue caps lock, yaitu KEADILAN. Sebelum putusan lahir, mereka yang demo ramai-ramai menuntut keadilan. Okeeey, sekarang orangnya juga udah mo dipenjara, seneng kan lo semua? Nah, dari sini mau gue balikin deh tuh kata "KEADILAN". Kalo mau adil, ya penjarain juga tuh orang-orang yang hobinya menista/menghina agama. Gak susaaaah nyarinya, bahkan untuk bentuk penistaan agama yang emang terang-terangan (kalo si Ahok mah masih debatable, karena kata-kata dia juga multiinterpretasi sebenernya). Bahkan gak susah juga nyari penista agama yang berasal dari kaum PEMUKA AGAMA YANG SELALU KITA JUNJUNG SURI TAULADANNYA. Nyang satu aja malah kabur ke Arab. Gue rada gak suka aja ama orang muna yang suka berlindung dibalik topeng agama. Ulama kalo salah tetep aja bener... kalo salah dan dituntut hukum, tar bilangnya kriminalisasi ulama, politik balas dendam... selalu playing victim... ya kalo emang bener gak salah mah buktikan aja dengan bukti dan alibi, lah ini wong bukti otentik yang menunjukan kesalahan dia aja betebaran... udah gitu biar udah ada bukti penunjuk kesalahan dia, masih aja bilang "korban fitnah"... Gak ada yang nyudutin ulama atau umat Muslim, karena sebagian tidak menggambarkan keseluruhan. Said Aqil Muslim, Quraish Shihab Muslim, Gus Mus Muslim, tapi apakah mereka dituntut hukum? Ya enggak, kan gak buat salah. Gue sendiri bukan antiulama, jangan terlalu instan mengambil kesimpulan, karena gue sangat mengagumi sosok Gus Dur, Cak Nur, Wahid Hasyim, dan tokoh-tokoh moderat lainnnya.

Jadi, yaaa... mari kita penuhi penjara dengan para penista agama. Mungkin kalo penjara udah penuh oleh penista agama; koruptor, teroris, pembunuh, pemerkosa, maling, dan kawan-kawannya bisa diiket di pohon aja kali yaaa... Mereka yang menuntut keadilan harus menerima juga konsekuensi dari keadilan tersebut. Tentu kita gak mau dong yaaa kalo nanti tercipta kesan bahwa keadilan sosial di Indonesia itu cuman berlaku bagi golongan mayoritas, eh, emang udah dari dulu kayak gitu ya? Jangan-jangan emang dari dulu keadilan sosial di Indonesia itu bersifat semu ya? Yaitu keadilan yang syarat dan ketentuannya berlaku. Lah ini keadilan apa sales promotion...

Dannn... waktu hukumannya juga harus sesuai ya... Nyebut ayat Al-Quran divonis 2 tahun, sedangkan ngebakar vihara divonis 2 bulan... Menurut gue sih aksi pembakaran rumah ibadah itulah yang lebih tepat disebut sebagai penghinaan agama. Tapi ya namanya juga praktisi hukum di Indonesia... gak heran kalo yang kayak begini terjadi. Sekali lagi ini bukan tentang si Ahok, ini murni tentang penegakan norma hukum dan keadilan sosial.

Penutup

Ada yang berlindung dibalik topeng, ada yang menerjemahkan keadilan dengan kamus buatan golongannya sendiri. Semua semu. Yang benar belum tentu benar, yang kuat sudah pasti benar.

Gue sadar dengan disharenya tulisan ini, gue akan mengundang banyak musuh. Tapi yaudahlah, di saat yang sama gue juga udah gak bisa menahan perasaan yang terus memanas di dalam dada, rasanya pengen gue keluarin aja gitu semua dalam tulisan. Emang semenjak Pilkada DKI juga udah tercipta kubu-kubuan. Persatuan Indonesia udah di ujung tanduk. Padahal jaman kepemimpinan Nabi Muhammad dulu, beliau juga menerima perbedaan agama dalam piagam Madinah, tapi kenapa para fundamentalis di sini selalu ingin memaksakan ideologinya sendiri ya. Berbicara tentang menjadi warga negara yang "gak dianggap" di mana hak asasi mereka dimarjinalkan. Bayangin ketika guru nanya satu-satu anak SD tentang cita-cita mereka, terus ada bocah yang pengen jadi presiden, lalu si guru ngejawab, "Oh, kamu gak bisa jadi presiden, soalnya kamu non muslim". Tar giliran beredar berita di mana orang Islam di barat dilarang menjadi pejabat atau pemimpin aja ngamuk lagi, nyebut-nyebut diskriminasi sosial.

Gue inget banget dulu gue pernah ngadu mulut ama office boy kantor. Dia ngotot bahwa khilafah itu harus ditegakan di Indonesia. Gue tanggepin aja dengan ngomong bahwa Indonesia itu diperjuangkan bukan hanya oleh orang Islam, tapi juga sodara-sodara sebangsa yang beda agama, jadi mereka juga berhak menentukan masa depan Indonesia. Eh, dia malah jawab kalo orang Islam itu lebih berhak dari mereka. Gue nyaris diceramahin seharian biar katanya bisa dapet hidayah, tapi kemudian gue menolak. Akhirnya besoknya dia musuhin gue. Gue tegor gak pernah tanggepin, kalo ngomong, liat muka gue aja kagak mau, gue bener-bener didiemin sampe dia resign dari kantor.

Indonesia belon khilafah aja sebenernya hukum dan norma sosialnya udah condong banget ke agama Islam. Banyak dasar hukum yang melihat hukum Islam sebagai acuan. Terus gimana pas jadi khilafah? Boro-boro bangun rumah ibadah, orang non muslim mau beribadah aja diusir-usir, rumah ibadah yang udah ada malah dibakar. Indonesia di forum internasional selalu berkoar-koar memperjuangkan kebebasan beragama, tapi di dalem negeri orang yang beragama berbeda malah dipinggirkan. Ya kalo gak suka dengan demokrasi, pancasila, dan pluralisme, keluar aja dari Indonesia. Jaman Nabi, agama turun digunakan untuk kedamaian dan persatuan, jaman sekarang agama dipake sebagai alasan untuk perang dan memecah persatuan.

Kayaknya kita bisa deh jadi orang alim dengan tetap hidup berdampingan sama orang beragama lain tanpa harus menjadi egosentris nan intoleran. Di jaman yang lagi kacau dengan terorisme ini, mereka selalu berkoar-koar bahwa Islam itu adalah agama yang penuh cinta dan kedamaian, tapi yang mereka tunjukan malah sebaliknya, seolah-olah di dalam Islam hanya ada kata 'marah' dan 'dendam', tidak ada kata 'sabar' dan 'maaf', padahal Allah aja maha pemaaf. Gue lebih suka memandang Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang, bukan agama eksklusif yang hanya mementingkan supremasi. Tentunya kasih sayang yang gue maksud adalah kasih sayang terhadap semua, bukan pada satu golongan aja.

Tuesday, April 4, 2017

Movie Rant: Dial M for Murder (1954)

Lagi pengen ranting, cuman lagi males nulis juga, jadi mungkin yang akan Anda liat adalah review asal-asalan (dan setengah-setengah dari gue).

"Dial M for Murder" karya Hitchcock pada tahun 50-an sebenernya punya plot misteri yang menarik, , cuman ada yang bikin gue gak suka sampe-sampe gue gak tahan untuk nonton abis pelemnya.

Gue gak akan ngomentarin film tersebut secara teknis, melainkan isi cerita. Jadi singkat cerita, ada sepasang suami-istri yang tengah mengalami masalah. Si suami sang pemain tennis profesional keliatan sibuk banget ama kegiatannya ampe-ampe dia gak meratiin istrinya. Komunikasi istrinya yang menyarankan agar dia berenti untuk menjadi pemain tennis agar lebih memperhatikan doi ternyata berbuah, si suami pun pensiun. Namun yang ngeselin adalah ternyata si istrinya gak lebih baik perilakunya dari si suami. Yap, dia selingkuh. Bahkan sampe si suami udah tobat dan pensiun dari profesinya pun dia masih ngejalananin hubungan gelap dengan pria lain. Padahal istrinya yang nyuruh berenti dari tennis. Hubungan tersebut ketauan, dan karena kesel si suami merencanakan "pembunuhan sempurna" terhadap istrinya. Dia nyewa orang lain yang dia suap untuk ngebunuh si istri. Tapi ternyata rencana pembunuhan tersebut gak cukup sempurna, karena dii tengah proses, ada suatu kegagalan, yaitu ketika si istri mau dibunuh, si istri berhasil ngelawan dan akhirnya malah si calon pembunuh yang mati. Si istri pun dituduh melakukan pembunuhan. Namun untungnya detektif dan pacar gelap si istri berhasil membela dia dan akhirnya yang kena batunya adalah si suami yang udah ketauan telah menjadi otak dari rencana pembunuhan sang istri. Begitulah kira-kira gambaran plot asal-asalan dari gue. (Yang pengen gambaran lengkap plotnya ya google aja, atau donlot torrentnya di yts)

Lantas bagaimana gue memposisikan diri gue dalam plot cerita ini? Gue berada di sisi sang suami. Mau gimanapun jalan ceritanya, gue kesel banget ama sang istri yang udah selingkuh, bahkan setelah suaminya pensiun dari tennis untuk mencurahkan waktunya kepada sang istri. Tu suami udah membuang karirnya demi sang istri, dia udah menuhin permintaan istri buat pensiun, eh, si istri masih aja asik buat selingkuh.

Gue sangat-sangat benci ama yang namanya selingkuh. Maksudnya kalo ada masalah ya obrolin, dan obrolinnya juga berkali-kali, jangan ini obrolinnya cuman sekali, terus gak ada perubahan, kemudian menjadikan hal tersebut sebagai excuse buat selingkuh. Ya kalo konfliknya sulit mendapatkan titik cerah, ya mendingan cerai aja sekalian, jangan lari dengan punya hubungan gelap di bawah status pernikahan. Poligami diem-diem tanpa ijin istri juga itungannya selingkuh. Apapun alesan dan bentuknya, selingkuh ya tetep selingkuh. Suami-istri harus saling menjaga komitmen dan sumpahnya yang dulu pernah dibuat sebelum disahkannya sebuah pernikahan.

Yang bikin tambah kesel adalah yang meranin istrinya itu Grace Kelly yang cantiknya tuh sialan banget. Gue seneng ngeliat parasnya tapi benci ngeliat karakternya, kan jadinya kontradiktif. Maksudnya gue jadi tambah baper kalo punya istri secakep Grace Kelly yang udah ngekhianatin gue (ngemeng ape sih lo, Dham).

Yang ngeselin lagi adalah scriptnya sama sekali gak memposisikan si istri dan pacar gelapnya yang udah saling selingkuh sebagai orang yang bersalah. Maksudnya gue expect bahwa biarpun mereka diposisikan sebagai protagonis, tapi seenggaknya digambarkan juga kek mereka yang udah merasa bersalah karena selingkuh.

Yang bikin kesel tuh bahkan sampe akhir cerita, si istri dan selingkuhannya tetep aja diposisikan sebagai orang yang seolah paling benar, suci, dan gak berdosa. Kayak gak ada perasaan guilty. Maksudnya tuh apa kek, di akhir cerita menurut gue seharusnya dikasih semacem pesen moral bahwa si istri telah menyesal kalo perselingkuhannya telah merubah suaminya jadi orang yang kayak gitu (terus ngarepnya sih mereka putus demi kebaikan masing-masing). Si suami emang monster yang mau ngebunuh istrinnya, tapi merekalah yang menciptakan monster tersebut.

Sebenernya kalo gue jadi si suami, gue gak akan ngerencanain pembunuhan terhadap para pelaku perselingkuhan sih yang secara spesifik adalah si istri. Yang gue lakuin adalah buka aib mereka ke publik, tempatin diri mereka di posisi yang salah, dan biarkan opini publik berkembang. Perilaku yang gak sesuai dengan norma sosial akan mengembangkan penilaian negatif, rantai omongan pun membentuk serangan verbal ke si istri dan selingkuhannya. Penciptaan patologi psikologis seperti ini pastinya lebih baik dari kematian, karena mati sekarang atau 50 tahun lagi, ujung-ujungnya kita akan menghadapi neraka juga. Jadi kenapa gak menciptakan neraka dunia aja bagi mereka yang udah gak setia sampe mereka mati beneran secara alami? itung-itung nambah charge dosa mereka juga. Plus kalo kita jadi ngerencanain pembunuhan, apalagi kalo ampe ketauan, pastinya kita akan mendapat label penjahat. Udah gitu label orang salah yang tersemat dari si istri karena udah selingkuh pun perlahan bergradasi menjadi label orang baik gegara menjadi korban dari percobaan pembunuhan. Kan bete, udah jadi korban perselingkuhan, sekarang dilabelin sebagai orang jahat.

Lagian si Hitchcock ini rada ngeselinn juga, dia demen banget nyisipin isu perselingkuhan itu di pelemnya, baik itu secara explisit, maupun implisit. Beberapa pelemnya membangun konflik dari isu tersebut. Ni die menyiratkan pada kehidupan pribadinya ape gimana sih, ya walaupun gak tertarik juga sih buat tau kehidupan personalnya.

Yah jadi itu aje sih rant gue tentang pelem ini. Entah kenapa gue rada sensi aja ama isu perelingkuhan yang diangkat di sebuah pelem (dan rata-rata pelem yang gue tonton akhir-akhir ini punya muatan konflik tersebut, sebuat aja Heat (1995), Mulholland Dr. (2001), Psycho (1960), Shawshank Redemption (1994), Godfather (1972), Goodfellas (1990), Chinatown (1974), dll). Saking sebelnya, hal-hal fiktif kayak gitu ampe kebawa ke perasaan hahahah norak bet gue. Entah kenapa gara-gara pelem, gue jadi rada skeptis gitu ama cinta sejati. Maksudnya kedua insan menikah karena melihat hati masing-masing apa karena paras, materi, tahta, fame, atau lust?

Gue paling sebel sama orang yang mencari pembenaran buat selingkuh, menjadikan problem rumah tangganya sebagai alasan buat selingkuh. Ujung-ujungnya mereka playing victim, menjadikan diri mereka sebagai korban dari masalah rumah tangga. Dari situ selingkuh menjadi pelarian deh untuk mengobati masalahnya. Mending perkaranya berat kayak suami nelantarain ampe gak nafkahin istrinya bertahun-tahun atau suami tiap hari hobi nganiaya istri, tapi giliran diajakin cerai, selalu nolak. Lah ini suami sibuk dikit tanpa ada komunikasi buat mencari titik cerah dan solusi, selingkuh. Terbentang jarak sedikit, selingkuh. Hal yang sama juga berlaku buat si suami ya. Punya duit dikit, nyeleweng, punya kekuasaan dikit, nyeleweng, punya ketenaran dikit nyeleweng. Pokoknya gak ada yang bener dari kata selingkuh.

Sebenernya pengen gue bahas lebih panjang lagi, tapi bersamaan dengan itu gue juga lagi males.