Monday, October 19, 2015

Hanafi-Ah

Ada sebuah pertanyaan lucu yang terlontar dari mulut temen kantor:

“Hanafiah itu bukan nama cewek ya? Heheheh,” kata dia sambil tertawa

“Eheheheheh, ” bales gue dengan tawa garing.

“Heheheheheheheheh,” masih terbawa suasana.

“Ngehyehyehyehyehyehyehyehyehyehyehyeh,” gue dibawa ke sumber waras terdekat.

Adakah temen atau kolega cewek dia yang namanya Hanafiah? Apakah dia udah melakukan survey? Kita cuman gak bisa ngejudge sesuatu yang berasal dari luar pola pikir sebagai suatu hal yang aneh, karena pola pikir kita bukan merupakan representasi dari common knowledge bagi semua orang. Reza, Rizki, Resky, Dwi, Dian, Endang, Alex; nama-nama tersebut adalah nama yang umum digunakan oleh 2 gender. Nama 'Yuri' yang selama ini kita kenal sebagai nama feminim adalah nama maskulin di Rusia. Bahkan nama bu guru matematika gue waktu SMA adalah Dewa. So how can it be such a big deal??? Di belahan dunia sana ada cowok yang operasi kelamin jadi cewek dan di sini kita memersalahkan pembagian nama maskulin dan feminim??? Kita ini tinggal di dunia heterokultur, dan tuntutan kita sebagai warga negara dunia tersebut adalah menyesuaikan diri dengan memperluas pola pikir, bukan malah menyempitkannya.

Saat itu gue menjelaskan singkat (karena gue gak mau terlibat argumentasi ribet nan jauh pada topik sepele ini) bahwa nama ini berasal dari nama "Hanafi". Nah, imbuhan ‘ah’-nya itu kayak semacem variasi gitu deh. Saat itu pilihnnya kalo gak ‘ah’, ada ‘njing’, ‘nyet’, dan ‘tod’. Waktu itu kebetulan aja babeh ngambil imbuhan ‘ah’ pas milih sambil matanya ditutupin. Lagian maksudnya kalo gue googling nama “idham hanafiah” yang keluar juga nama laki semua (ketauan nama pasaran, mungkin dulu babeh ngambil nama gue dari obralan di pasar swalayan).


Thursday, August 20, 2015

TENTANG NILAI MAKANAN (DAN MINUMAN)

Gue beruntung udah dibesarkan di dalam keluarga yang telah mengajarkan gue untuk selalu bersyukur dan menghargai apa yang kita punya sekarang. Gue beruntung udah diajarin untuk enggak menyisakan nasi seremeh pun. Gue beruntung udah diajarkan untuk harus prihatin.

"Lihat ke bawah dan lihat apa yang kita miliki sekarang"

Kita semua gak diberikan takdir yang sama. Ada selebritas Hollywood yang makan malamnya bisa bernilai jutaan, dan ada orang kurang beruntung yang harus mengais beras sisa yang berserakan di tanah untuk bisa mengisi perut. Gak usah jauh-jauh ke Afrika, di sekeliling kita pun banyak orang-orang yang harus berjuang keras untuk mendapatkan sesuap nasi.

Orang optimis selalu bilang bahwa kita bisa merubah takdir, tapi gak ada orang yang mau dilahirkan dalam takdir pada kondisi yang serba terbatas. Kita hidup di dalam realita, bukan dunia fantasi yang penuh dengan kenaifan. Tentu kalo disuruh milih antara lahir kembali di dalam kesejahteraan bak keluarga Kadarshian atau menjalani hidup dengan kemiskinan seperti yang ada pada keluarga di Ethiopia, kita pasti memilih pilihan pertama. Siapa yang gak mau hidup mewah dengan segala kemudahan yang ada? Gue belom pernah ngerasain cara hidup orang kaya, tapi ya bayangin aja bahwa di luar sana ada yang mau membayar mahal untuk kue yang bertabur dengan bubuk emas.

Sekarang kita gak usah ngeliat orang super kaya yang seakan tinggal di semesta yang berbeda dengan level kesejahteraan A++++++.  Orang segmen ekonomi B pun di mata gue termasuk orang yang sangat beruntung. Mereka beruntung bisa lahir dalam keluarga yang sejahtera yang tiap hari bisa makan nasi, lauk, dan sayur. Garis start idup kita itu beda-beda. Ada orang yang dilahirkan pada garis start yang berada jauh di depan dengan kemakmuran yang selalu mencukupi kebutuhan mereka, dan orang yang lahir di garis start yang berada jauh di belakang yang sehari aja makan cuman sekali.

The Western People

Bahasan utama gue di sini adalah orang-orang yang berada di garis start tengah sampai depan, atau lebih mudah dipahami sebagai orang-orang dengan segmen ekonomi B ke atas. Gue mengkhususkan pembahasan kali ini terhadap orang Barat yang tingkat ekonominy secara rata-rata berada di atas kita.

Empat kata pembuka: Gue-sangat-membenci-mereka

Ada alasan kenapa gue menulis post ini, dan empat kata pembuka tersebut adalah alasan utamanya. Tulisan ini adalah buah dari kekesalan gue ke mereka. Well, kebencian gue ke mereka bersifat parsial dan kontekstual, jadi gue gak secara keseluruhan memberikan stigma negatif dengan membabi buta ke bangsa barat. Gue juga logis kok orangnya.

Gue gak pernah ngerti dengan paham dan pola pikir mereka. Mereka yang dibilangnya sebagai ras paling sempurna dengan kesejahteraan yang merata bagi gue adalah bangsa yang sombong dan gak tau diri. Yap, mereka emang sombong, selalu merasa akan hidup di kondisi yang sama seterusnya. Dengan pola pikir seperti itulah mereka jadi gak menghargai apa yang mereka punya di hari-hari itu. Mereka merasa bahwa apa yang dipunyai pada hari tersebut akan selalu kekal selamanya. Makanan, air, dan kebutuhan pokok lainnya bagi mereka sudah terdegradasi nilainya. Tiap hari mereka selalu ketemu sama yang namanya makanan dan minuman enak sampai-sampai hal tersebut jadi sesuatu yang biasa. Dan inilah yang terjadi ketika keadaan tersebut bertemu dengan pola pikir dangkal. Mereka jadi meremehkan keberadaan kebutuhan pangan tersebut. Budaya goblok yang lahir dari kombinasi dua aspek tersebut adalah "food fight". Ini adalah suatu penemuan yang paling tolol. Makanan dan minuman yang ada bagi mereka adalah TAI yang sama sekali gak berpengaruh pada kelangsungan idupnya. Karena gak ada nilainya, mereka jadi terdisensitifikasi untuk bermain-main dengan makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dijadiin mainan pun gak sembarangan. Roti, telor, susu, ikan, sayuran, minuman bersoda, air putih, dan lain-lainnya yang bisa memenuhi kebutuhan kita sehari-hari dilempar-lempar oleh mereka. Kebutuhan pangan tersebut dijadikan 'peluru' untuk saling menyerang lawannya.

Gak cuman budaya food fight, kegiatan prank lainnya pun sering sekali melibatkan komoditas pangan untuk dilempar dan diinjak-injak oleh mereka. Kalo di youtube, banyak bisa diliat akun yang membuat video 'lucu-lucuan' dengan menyia-nyiakan makanan dan minuman. Misalnya mereka bikin semacam video tantangan di mana sang partisipan akan dilempar, diceplokin, dan dilumuri oleh kebutuhan pangan. Hantaman pangan secara brutal yang memberikan efek lengket dan bau tersebutlah yang menjadi poin dari tantangan ini. Makanan dan minuman yang seharusnya masuk mulut mereka jadikan sebagai sesuatu yang melapisi badan mereka. Gue punya ide, kalo mereka pengen bikin tantangan yang punya efek lengket dan bau sampe bikin jijik, kenapa mereka gak saling melumuri badannya dengan TAI mereka sendiri?! Bukannya itu bikin lengket, bau, dan sangat menjjikan?? Ide yang bagus kan??? Akun-akun seperti how to basic dan vlogger lainnya lah yang membuat gue muak sama manusia jaman sekarang.

Gue mah sate padang dan lontong sayur basi juga diabisin saking sayangnya. Emang rada berlebihan, tapi gue selalu gak tega untuk ngebuang makanan. Meski perut udah penuh banget sampe gue pengen muntah, pokoknya sebisa mungkin itu makanan jangan sampe dibuang. Liat orang-orang di bawah kita, buat makan yang LAYAK untuk satu kali sehari aja susahnya minta ampun, eh, di belahan dunia yang lain malah ada orang yang ngejadiin makanan dan minuman tersebut sebagai mainan yang enggak ada harganya. Bukan masalah mereka punya duit dan sama sekali gak rugi ketika makanan dan minuman tersebut dibuang-buang, tapi Tuhan menciptakan makanan dan minuman itu ada poin dan esensinya, yaitu untuk menghidupi kita.

"MENGHIDUPI"   untuk meneruskan kelangsungan hidup, yang berarti bahwa faktor idup dan mati kita sangat bergantung sama yang namanya makanan dan minuman. Perannya sangat krusial. Ada banyak orang yang mati gara-gara kelaparan dan kehausan. Ngeliat bocah-bocah Afrika yang mati kekeringan dengan kondisi kurus kerempeng seperti kulit yang ditempelin langsung ke tulang, ngeliat jasadnya yang akhirnya cuman jadi makanan bagi burung pemakan bangke, membuat gue sangat eneg ngeliat kelakuan bangsa barat. Tiap ngeliat orang-orang kayak gitu, gue selalu berharap bahwa semua yang mereka punya saat itu diambil semua, gak ada makanan, gak ada minuman, satu kota bahkan satu negara langsung krisis kebutuhan pangan. Biar mereka rasain gimana rasanya tai mereka sendiri saat udah putus asa meronta-ronta nyari makanan.


Saturday, June 13, 2015

TETSU!!!

Tetsuya Ogawa atau biasa lebih akrab dipanggil dengan sebutan Tetsu aja merupakan seorang bassist, leader, sekaligus founder dari band rock legendaris asal jepang yang bernama L'Arc en Ciel. Dia merupakan alasan utama kenapa gue suka L'Arc ketika kelas 3 SMP dulu.

BASSLINE. 
Yup, karena bassline-nya. 

Bassline-nya bener-bener GILA. Lagu-lagu mereka gak pernah bikin bosen, baik itu ketika didengerin maupun dimaenin.

Menurut gue dia adalah pionir yang mempopulerkan gaya bermain bass yang melodic. Lo kalo nonton konsernya Laruku gue jamin pasti gak pernah menemukan jari Tetsu yang terdiam. Jarinya selalu gerak, dari fret 1 sampe 12, dari senar 1, sampe senar 5. Dia adalah antitesis dari bassist yang kerjaannya cuman ngeritem doang. Tipe bassist yang kayak beginilah yang membuat mereka selalu diremehkan dan gak mendapat apresiasi dari pendengar musik. Bassist (berdasarkan stigma tadi) selalu dianggap paling useless, terbelakang dalam hal talenta, dan sangat ngebosenin. Mungkin stigma itu bener..........................................................................................................................................................KALO mereka dengerin band-band kayak Blink 182, MCR, atau Fall Out Boy.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada tiga band yang gue sebutkan tersebut ─ gue pikir mereka semua adalah band-band yang bagus (walaupun sebenernya gue gak terlalu ngikutin mereka banget, namun gue bakal objektif aja, mereka gak mendapatkan jutaan fans tanpa alasan) ─ , gue akan mengernyitkan dahi ketika orang nge-rate bassline "Welcome to The Black Parade-nya MCR lebih tinggi dibanding Driver's High-nya Laruku. Oke, fans MCR boleh bilang kalo itu bukan bassline terbaik dari Mikey Way. Silakan cari bassline dia yang paling bagus dan bandingin dengan kompleksitas bassline-nya Tetsu. Kalo ada yang sekompleks Kasou dari album Ray, baru kita bisa bicara.

Gue gak ada sensi ama band punk. Gue juga suka kok dengerin Ramones, Rancid, Operation Ivy, Offspring, dsb. Cuman ya mari kita jujur aja, secara kualitas, bassist mereka emang rada kurang. Kalo mau bukti, silakan cari video bass cover dari band-band tersebut, liat, dan amatin, apakah stigma bahwa bassist itu ngebosenin? Kalo ngeliat mereka, gue bakal katakan IYA. Gue gak ngeremehin musik punk, karena ada juga kok bassist yang jago di genre ini. Coba cek Matt Freeman dari Rancid. Menurut gue dia dewa banget, udah kayak Cliff Burton maen di band punk. Liat aja shreddingnya di Maxwell Murder. Jago.



Dengan menyebutkan band-band di atas sebagai contoh perbandingan, sekali lagi dan SEKALI LAGI, gue gak ada sentimen apapun kepada band pop punk, power pop, post punk, whatsoever. Kalo butuh contoh lain di luar musik Punk, gue bisa nyebut Nirvana, ACDC, Avenged Sevenfold, Coldplay, etc etc. Gue menghormat band-band tersebut, tapi gue harus jujur untuk mengatakan bahwa bassist mereka itu monoton.

Kembali ke Tetsu, gue pikir dia sangat underrated. Dia kurang mendapat sorotan, ibaratnya dia masih di bawah permukaan. Padahal Laruku sendiri umurnya udah 24 tahun, tapi still, gak ada yang pernah denger namanya. Gue bisa paham sih, soalnya kiblat musik orang-orang pada umumnya adalah ke barat. Yang mereka liat ya band-band barat, lebih khususnya Amerika yang seakan-akan jadi center of the world. Makanya gue suka rada cringe, ketika ngeliat, jari bassist salah satu band barat itu gerak dikit. Di comment section youtube pasti orang-orang pada muja dia. "Amazing basslines" "So talented" "The best bassist". 

Errr...

Mereka bener-bener cuman denger musik barat doang. Tetsu udah ngecompose puluhan bassline dari Laruku, dan gue bisa katakan bahwa melodi bassnya Tetsu itu berada di atas rata-rata kemampuan bassist western.

Tadi gue bilang Tetsu itu underrated, yes he is! Gue pernah masuk ke suatu web chart gitu yang ngerate bassist-bassist terbaik di dunia. Dan takjubnya Tetsu menempati urutan atas. Dia sempet nempatin posisi 3 sebelom akhirnya turun-turun lagi meski masih di sepuluh besar. Dan di situ ada yang comment yang intinya kayak gini "Gimana bisa bassist antah berantah dari Jepang ini berada di atas si-X?!"

Wow.

Ya, antah berantah, dunia dia terlalu sempit untuk mendengarkan talenta berkualitas. Gue melihat pada dasarnya seorang bassist yang jago itu memiliki du tolak ukur skill, yaitu dalam hal teknik dan kreativitas. Dalam soal teknik, kita bisa liat John Myung, Billy Sheehan, atau Victor Wooten dengan segala slap, shredd, dan tetek bengek lainnya. Sedangkan dalam hal kreativitas, kita bisa liat dari bassline-nya, seberapa niat dia mau masukin melodi bass ke dalam sebuah lagu, dan Tetsu memenuhi kualifikasi itu.

Yang gue gak abis pikir lagi kenapa Paul McCartney selalu mendapat tempat ketika kita ngebicarain bassist jago di dunia? Maksudnya di artikel manapun dia selalu mendapat opini positif. Yang gue peratiin rata-rata mereka menghargai Paul karena ia bassist yang ngecompose lagu dan nyanyi. Iya itu doang. Biar gue kasih tau, Tetsu juga buat lagu, dia bikin lirik, dia nyanyi, tapi dia gak pernah dapet apresiasi yang sama dengan Paul. 

Gue gak ngomongin Paul sebagai song writer, composer, atau musisi secara umum, karena dia adalah legenda sejati menurut gue. Kalo urusan bikin-membikin lagu mah dia deh rajanya, maksudnya buat bisa bikin lagu yang dikenal secara world wide dan everlasting emang gak gampang. Dia udah bukan cuman icon bagi musik Brit Pop, tapi juga bagi musik dunia. Tapi kalo bicara bass, ayolah... apa gak terlalu overrated? Sekali lagi gue bilang bahwa Tetsu melakukan hal yang sama persis dengan Paul, kecuali bassline dia lebih kompleks, dan that's it, Tetsu kayak orang yang tinggal di Goa. Masih menjadi orang yang gak dikenal dan diapresiasi oleh orang banyak.

Lucu, kalo misalnya kita ngesearch di youtube tentang kompilasi riff/bassline terbaik sepanjang masa. Itu semua dari barat, kalo gak Amerika ya Inggris. Gue meratiin video tersebut dari awal sampe akhir dengan perasaan yang rada ngilu. Gue nonton sambil ngebayangin basslinesnya Tetsu di Laruku.

Ya, akhir cerita, gue dapat simpulkan bahwa yang orang-orang pikir tentang musik dunia adalah Musik barat ajah. Lebih khususnya Amerika, tok.

Oiya sebagai penutup, gue mau ngasih rekomendasi beberapa lagu Laruku yang basslinenya menggila. Sebagian aja ya, soalnya banyak banget dari album pertama ampe 12.

- Lose Control
- Route 666
- Cureless
- The Nepenthes
- Stay Away
- Blurry Eyes
- New World
- Niji
- Butterfly's Sleep
- Be Destined
- And She Said
- Heaven's Drive
- Fate
- The Silver Shining
- Driver's High
- Honey
- Perfect Blue
- Eien
- Mirai Sekai
- Winterfall






Wednesday, February 18, 2015

Wisuda Bagian 3

Yah pada kenyataannya hal-hal tersebut hanyalah sebuah filler dari perkara utama cerita ini, karena cerita utamanya ada di ujung prosesi wisuda ini. Sebelumnya, gue pengen bilang dulu bahwa gue adalah tipe orang yang grogian kalo udah berada dalam situasi yang prosedural di tempat umum. membutuhkan langkah-langkah terintegrasi sesuai dengan tata cara yang berlaku untuk mencapai suatu tujuan entah itu formal atau nonformal. Kalo kayak gitu gue suka salah-salah dalam malakukan hal-hal tersebut. Misalnya gue lagi pengen menggunakan fasilitas umum, kadang di tengah jalan gue suka bingungan sendiri gitu mau ngapain. Entah kikuk, entah norak, kayaknya saat itu gue merasa segala langkah yang gue ambil selalu salah. Nah, hal ini juga berlaku di event-event resmi dengan segala tata cara keikutsertaan yang formal. Biasanya untuk dapat mengontrol situasi ini, gue suka meratiin orang terlebih dahulu. Gue amatin dari jauh, gue lihat lebih dalam, terus gue santet di belakang. Eh, enggak, maksudnya setelah gue amatin, gue ikutin segala tindak-tanduk orang tersebut. Kalo orang tersebut berdiri, gue ikut berdiri, kalo orang tersebut maju, gue ikut maju, kalo orang tersebut tiba-tiba boker di lantai, maka gue akan stop sampe di situ dan cari orang lain selanjutnya yang bisa dijadiin contoh. Sebarbar apapun kelakuan gue, gue gak bakalan pernah boker di lantai. Minimal gue boker di pot bunga.

Lantas apa hubungannya dengan wisuda? Ini akan dijelaskan pada beberapa alinea selanjutnya. Kembali ke wisuda, saat itu pikiran gue bener-bener ngambang. Gue ngikut wisuda tanpa paham sepenuhnya mengenai jalannya proses acara tersebut. Emang sih sebelomnya ada gladi resik. Namun saat gue menghadiri gladi tersebut, mata gue memilih untuk gak meratiin dengan seksama arahan dari panitia. Ketika panitia ngebacot masalah prosedur acara wisuda, gue malah mikirin pot bunga mana yang bisa gue jadiin tempat buang aer alternatif. Pikiran gue gak pada tempatnya. Namun sebenernya hal tersebut gak memberikan impact yang berarti sih, kecuali dalam memengaruhi insting gue dalam mengikuti acara. Maksudnya Gue ikut acara wisuda ya fine-fine aja, namun stimulan yang muncul secara gak biasa membuat gue langsung mengikuti insting sembarangan gue. Jadi sebenernya prosedurnya gak selebay apa yang gue utarakan sebelomnya. Palingan cuman jalan masuk gedung secara berbarus, duduk di tempat yang udah di sediakan, salaman dengan rektor, dan selese. Dari situ semua lancar, sampe akhirnya ada sebuah sesi di mana seorang pengisi acara bernyanyi dalam nuansa yang emosional nan penuh haru. Kebetulan penyanyinya merupakan salah satu wisudawati Telkom. Ketika bernyanyi, dia menghampiri orang tuanya dan memberikan sepucuk bunga yang sebelumnya dikasih ama panita acara selepas acara berjabat tangan dengan rektor. Gue ngeliatinnya sih biasa aja. Mungkin itu semacam bentuk improvisasi dia dalam menggambarkan rasa terima kasih kepada orang tuanya. Tiba-tiba temen-temen yang duduk berdekatan dengan gue; Dista, Ratri, Madarina, dan Novi beranjak dari tempat duduknya. Gue nanya ke Dista,

“Emang disuruh diri ya, Dis?”

“Iyee gue mau nyamperin orang tua gue dulu,” jawab dia.

Kemudian satu-satu mereka pada ikut ngasih bunga ke orang tua mereka. Saat itulah pikiran gue langsung abu-abu. Kekikukan gue tiba-tiba muncul. Kebingungan gue yang didasarkan pada pengalaman yang minim dan rasa grogi yangberlebih ketika menjalani suatu acara formal memnuhi pikiran gue. Gue mikir, emang yang kayak begini termasuk bagian dari acara ya? Jujur gue belom pernah ikut acara wisuda sebelomnya, ini wisuda S1 pertama gue, dan gue juga gak pernah tanya-tanya soal wisuda ke orang-orang. Pengaruh psikologis mengenai fakta di mana gue gak meratiin arahan panitia saat gladi resik semakin menambah rasa kegamangan gue. Gue pikir emang ada sesi kayak gitu. Di ujung acara disediakan waktu bagi mahasiswa untuk memberikan bunga kepada orang tua mereka masing-masing. Saat itu gue masih belom yakin. Terus gue peratiin sekeliling, satu demi satu wisudawan pada beranjak dari tempat duduk buat ngasih bunga ke masing-masing orang tua mereka. Suasana haru menyelimuti proses tersebut. Ada yang saliman, meluk orang tuanya dengan erat, bahkan ada yang sampe nangis-nangis. Saat itulah insting liar gue muncul. Kebiasaan gue mengikuti orang lain dalam menanggulangi kebingungan ini menjadi kunci pada aksi gue selanjutnya. Gue pun beranjak dari tempat duduk, mengikuti wisudawan-wisudawan lain yang pada memberikan bunga kepada orang tuanya. Kemudia gue ke barisan belakang, karena sebelomnya si babeh bilang kalo doi duduk di belakang deket pintu sebelah kiri. Di mana ada Babeh pasti di situ ada Emak, udah satu paket. Jadi gue cuman musti cari di mana tempat duduk Babeh gue. Terus gue samperin dah tuh daerah situ. Dengan pedenya gue jalan ke belakang tanpa tau pastinya posisi orang tua gue. Gue udah sampe di barisan belakang. Gue celangak-celinguk, nyari sesosok bapak-bapak bermata tajam yanng lebih mirip orang Batak daripada orang Sunda. Gue ngeliat kanan-kiri kok gak ada. Terus gue mikir, jangan-jangan gue salah denger sebelomnya. Jangan Bapak malah menunjukan posisi sebaliknya. Terus gue inget-inget lagi, gue flashback kata-kata Babeh. Gue mencoba mengingat kata-kata persis Babeh dalam bayang-bayang yang samar muncul pada benak. Seolah mencoba menyatukan serpihan ingatan tersebut, gue mengingat kata-kata Babeh yang ngomong dengan slowmotion, menerjemahkan gerak bibirnya dalam gerakan lambat dan suara yang berat. Dalam bayangan gue, si Babeh ngomong,

“Dhaam... Baapaak... duuduuk... dii... beelaakaangg yuaa... seebeelaahh......”

Gue mencoba menangkap kata-kata selanjutnya.

“Kk......”

Yak? Yak??

“Kkk.....”

Hum? KKK? Apakah dalam ingatan gue si Babeh mencoba menjelaskan kalo dia adalah anggota Ku Klux Klan?

“Kkkaaa......”

Oh, ini dia.

“Kkkaaa... naaaaaannn.........”

Kanan? Sebelah kanan? Oke! Ternyata gue salah menangkep sebelomnya. Si babeh ternyata duduk di barisan belakang sebelah kanan. Gue pun langsing menggeser pandangan gue ke arah yang berseberangan. Gue jalan menuju tempat duduk di sebelah kanan. Kemudian sesampe di sana, gue kembali celingak-celinguk, gue cari sesosok bapak-bapak berambut hitam belah pinggir. Selang beberapa detik gue cari, kemudian gue terdiam sambil memasang ekspresi muka kosong yang mengatakan, “Kok gak ada ya...” Gue kemudian berjalan ke depan sambil nyari kemungkinan bahwa sebenernya semua ingatan gue tentang Babeh yang mengatakan bahwa dia duduk di barisan belakang adalah salah. Gue cari-cari lagi, mungkin di di barisan tengah, atau rada ke depan dekat dengan tempat duduk mahasiswa. Gue nyari lagi. Lantunan lagu masih berdendang, gue masih punya waktu buat nemuin Babeh untuk ngasih bunga, masalahnya kalo sampe lagunya abis gue masih berkeliaran nyari-nyari babeh, itu situasi bakal canggung abis. Sekarang aja pemandangan udah keliatan awkward di mana gue yang lagi nyari-nyari babeh terlihat seperti anak balita yang lagi keilangan orang tuanya di mall. Setelah dicari-cari gak ketemu juga, akhirnya gue keluarin cara terakhir, gue telpon orangnya. Hape udah di telinga, dengan canggung gue nunggu dering telpon sambil megang bunga.

“Halo.”

“Halo, Pak, Bapak di mana?”

“Bapak yang deket pintu.”

“Pintu? Di belakang?”

“Iya ini Bapak di deket pintu keluar.”

“Oh, gitu, oke-oke, ni Idham ke arah pintu keluar ya.” Seketika gue kembali yakin bahwa si Babeh emang duduk di barisan belakang deket pintu keluar. Telpon masih bersambung, gue kembali jalan menuju barisan belakang, tentu tetap sambil bawa-bawa bunga. Di lain sisi, lagu masih berdendang, gue masih punya waktu. Setelah kembali sampe di barisan belakang, celingak-celinguk lagi, gue masih gak bisa menemukan sesosok bapak-bapak berhidung a la Akbar Tandjung.

“Pak, Bapak tuh sebenernya di mana, sih?"

“Kan dibilang Bapak deket pintu keluar.”

“Pintu keluar yang mana? Coba Bapak diri, deh”, sahut gue panik, karena sayup-sayup terdengar lagu udah hampir menyentuh ujung.

“Ni Bapak nelpon juga lagi diri, kamu di mana?”

“Berdiri?” Sambil menempelkan hp di telinga, gue liat kanan-kiri. Sejauh mata memandang, gue gak liat sesosok bapak-bapak berwajah sangar yang lagi nelpon. Seharusnya di situasi di mana banyak wisudawan yang berkeliaran nyamperin orang tuanya buat ngasih bunga, Babeh gue sadar bahwa anaknya yang lagi masang muka dongo lagi nyariin dia

“Kok Idham gak liat, sih? Bapak tuh di pintu keluar yang mana?”

“Itu pintu keluar yang deket bunga-bunga.”

"Bunga-bunga?”  Seketika gue tertegun mikir. Bunga-bunga? Bunga-bunga yang biasanya dikasih ke wsudawan begitu mereka keluar gedung? Itu bukannya ada di... Oh, shit... shit kuadrat... Ternyata si Babeh berada di dekat pintu keluar... BAGIAN LUAR.  ARTINYA SI BABEH DARITADI UDAH KELUAR GEDUNG NINGGALIN GUE YANG MONDAR-MANDIR DI DALEM BUAT NGASIIN BUNGA KE DIA. 

Sesaat setelah gue tau kenyataan yang mengenaskan, lagu yang dibawakan oleh pengisi acara pun telah selesai. Telpon gue tutup, gue langsung bergegas balik ke tempat duduk wisudawan, tentunya dengan masih membawa bunga. Anak-anak Ikom pada ngeliat gue keheranan sambil ketawa-ketawa. Si Yodia nyeletuk,

“Lo ngapain, Dham? Hahah,”

“Au dah...”

Gue pun menjalani sisa acara dengan muka manyun. Terus buat apa gue capek-capek cum laude kalo orang tua gue gak menyaksikan anaknya di seremoni wisuda? Hari yang seharusnya menjadi hari terbaik dalam hidup gue berubah 18 derajat menjadi momen terburuk yang pernah gue alamin sebagai mahasiswa dan sebagai anak. 

Friday, February 13, 2015

Wisuda Bagian 2


Kilatan foto dalam momen perayaan seperti ini menjadi hal yang sangat lumrah. Selain adanya tukang poto resmi, ada banyak juga mahasiswa yang dengan inisiatif membawa kamera; dari mulai yang sederhana kayak kamera HP, DSLR, ampe ada yang niat bawa Polaroid. Lantas kegiatan foto-foto tersebut menjadi pengisi waktu sebelum kita memasuki acara resmi yang berjalan ngaret. Acara dijadwalin mulai sekitar jam 7, tapi apa daya jadwal mundur satu jam. Gak tau, stigma udah menjadi fakta, jam karet emang dah jadi budaya Indonesia. Dulu setiap ngikutin seminar atau kuliah umum di kampus juga gitu, bilangnya mulai jam 1 siang, gak taunya acara mulai sejam setelahnya. Orang Indonesia kayak emang punya kebiasaan menunda pekerjaan dan menoleransi keterlambatan. Pokoknya kalo kisarannya lewat 5-10 menit itu dibilangnya masih tepat waktu. Selain itu, orang Indonesia juga suka rancu dalam mengidentifikasi waktu. Misalkan ada orang punya janji buat ketemuan. Nah, si orang tersebut janjiannya jam 10 lewat. Ya orang mana tau 10 lewat tuh pasnya jam berapa. Jam 10 lewat 5 menit ama 10 lewat 3 jam ujung-ujungnya jam 10 lewat juga. Ya orang sekalian aja kalo ada janji buat pacaran jam 10 lewat, datengnya malah pas jam 10 lewat 2 tahun. 

Yah, begitulah budaya kita. Gue ngomong kayak gini bukannya gue gak pernah telat juga. Kemaren aja gue baru telat dateng bulan. Gue pernah telat ikut UAS agama gara-gara ketiduran. Jadi ceritanya semaleman gue gak bisa tidur, tau-tau pas sekitar jam 7 gue teler ketiduran, padahal jam setengah 9 gue ada UAS. Sebenernya pas jam 8 gue kebangun ama suara alarm hp, cuman entah kenapa tangan gue refleks matiin alarm tersebut. Lantas gue bangun-bangun jam setengah 10. Gue ke kampus dengan pikiran kala itu masih jam setengah 9. Pas gue sampe sana, gue liat kanan-kiri, tau-tau koridor kampus udah sepi dan anak-anak udah pada di dalem kelas. Saat itulah gue baru sadar kalo gue udah telat 1 jam. Gue udah ngais-ngais ke pengawas, ke sekretariat kampus, ampe ke kaprodi langsung; hasilnya tetep gue gak bisa ikut susulan. Ini mengakibatkan gue musti ngulang mata kuliah tersebut setahun kemudian. Tentunya ini adalah kasus yang hanya terjadi pada diri gue, karena di lain kesempatan temen gue yang dateng ujian setengah jam sebelom kelar pada akhirnya boleh mengikuti ujian tersebut setelah doi memohon ke pangawas sambil nangis-nangis. Bicara soal contoh ketelatan di kampus, sebenernya seseorang yang telat hanya akan dikenakan sanksi kalo dia statusnya adalah mahasiswa. Iya soalnya kalo dosen telat dateng atau telat input nilai ampe 4 semester, mereka gak akan disuruh ngulang mata kuliah setahun kemudian.

Tapi lucu sih, kita sering diingatkan soal ketepatan waktu oleh orang tua, guru, dosen, bahkan oleh motivator seminar yang acaranya ngaret sejam, tapi di satu sisi mereka sendiri adalah bagian dari budaya jam karet kita. Balik ke wisuda, kenapa gue konsen banget ama jadwal acara yang ngaret? Hal ini dikarenakan acara wisuda yang jatuh pada hari Jumat. Gak ada yang lebih enak dari mengadakan acara yang agendanya kepotong urusan solat Jumat. Dan itu merupakan dampak yang akan didapet kalo jadwal acara ngaret. Dari yang seharusnya kita bisa tepat waktu, tapi karena ngaret, agenda acara jadi berantakan. Sebenernya penentuan acara wisuda yang jatuh pada hari Jumat sempet mengundang protes dari temen-temen seangkatan. Bahkan ada yang sempet pengen bikin petisi untuk mindahin hari wisuda. Gue bukan termasuk orang yang setuju wisuda Jumat, tapi ya kayaknya kalo bikin petisi rada berlebihan juga sih. Maksudnya anak kampus lain protes buat hal yang lebih krusial kayak nuntut harga bbm murah atau substitusi bbm dengan whatsapp, kita malah protes buat ngegeser hari wisuda. Rata-rata mereka memperkarakan soal solat Jumat di samping masalah orang tua yang susah ngambil cuti. Gue bukan takutin bahwa kita jadi gak sempet solat Jumat (Karena pastinya masalah kayak begini diatur waktu dan tempatnya oleh organisator acara). Sebaliknya prediksi gue acara yang jadwalnya kepotong-potong solat Jumat gini pasti akan berakhir hambar. Gue bilang kepotong bukan dalam arti di tengah-tengah acara kita jadi berenti sejenak saat kumandang adzan bergaung, terus kita jadi balik lagi melanjutkan acara saat semua udah beres solat Jumat.

Acaranya sendiri selese jam 11, sejam sebelom waktu solat Jumat. Maksudnya gue rasa panitia acaranya gak mikir agenda wisudawan di luar jadwal resmi acara. Tentu kita sebagai wisudawan ingin melepaskan kebahagiaan bersama dengan orang-orang terdekat. Ya sekedar kumpul-kumpul dengan teman satu jurusan, membuat memorabilia dengan kolega, serta waktu-waktu berkualitas lainnya yang dihabiskan bersama. Tapi karena gue aja baru sempet keluar gedung jam setengah 12 akibat sesaknya undangan acara yang memenuhi pintu masuk (yang entah kenapa gedung serbaguna kayak gini cuman punya 1 pintu akses) ditambah dengan komunitas kampus yang menambah macet jalanan karena ingin melakukan arak-arakan mahasiswa, so, gue cuman sempet bertegur sapa dengan temen dan ketemu sebentar ama keluarga, karena setelahnya gue langsung cabut solat Jumat.

Sebenernya dalam agenda yang dijadwalkan, acara berlangsung dari jam 7 sampe jam 11. Emang sih, walaupun acaranya ngaret sejam, kita masih sempet selese sesuai jadwal, yaitu jam 11. Tapi kan seenggaknya kita bisa ngehemat waktu sejam lebih awal dari yang seharusnya kalo gak ngaret. Dan sebenernya isi acaranya juga kebanyakan adalah sesuatu yang bisa dipotong secara efisien kayak pidato yang mempromosikan kampus atau tentang prospek para lulusan. Gue gak tau, apakah emang masing-masing pembicara gak di-briefing masalah durasi atau gimana, gue bener-bener gak tau. Lagian kalo gak mau dipotong, kita kan bisa balik ke rencana awal dengan catatan acara bener-bener sesuai jadwal tanpa adanya keterlambatan.

Ada banyak kejanggalan dalam pemilihan hari Jumat sebagai hari wisuda. Kebanyakan excuse yang dilontarkan adalah karena masalah perbandingan kapasitas maksimal gedung serbaguna dengan jumlah wisudawan yang ada. Karena alasan inilah maka hari wisuda dibagi menjadi 2, yaitu Jumat dan Sabtu. Khusus untuk mahasiswa Ilmu Komunikasi, ini merupakan buah dari sistem rolling atau selang-seling jadwal wisuda dari periode-periode sebelumnya. Jadi misalnya untuk periode Agustus mahasiswa Ikom kebagian yang hari Sabtu, sedangkan untuk November, kita harus berpuas diri kebagian yang hari Jumat. Kita juga gak bisa seeaknya minta digeser ke hari Sabtu karena masalah kapasitas gedung yang ada. Selain itu kalau pun itu terjadi, apa kabarnya mahasiswa jurusan lain? Pastinya mereka gak mau menjadi korban pilih kasih atas perlakuan istimewa pihak kampus yang memindahkan jadwal wisuda anak Ikom.

Jujur, sebenernya gue gak masalah dengan wisuda hari Jumat. Ada beberapa poin yang harusnya bisa ngebuat wisuda Jumat menjadi lebih terkontrol. Pertama kenapa wisudanya harus pagi? Kenapa gak siang setelah solat Jumat? Kayak ambil contoh waktu wisuda kakak gue di UI. Acara wisuda mereka dimulai sekitar jam 1 siang, sejam setelah solat Jumat, di mana menurut agenda, acara berakhir sekitar ba’da Ashar. Terhitung durasi acara hanya sekitar 2-3 jam. Isi acara bener-bener dikoordinasikan secara efisien yang mengikuti esensi sebenernya dari acara wisuda, yaitu pengesahan gelar kepada mahasiswa itu sendiri. Katakanlah paling telat wisuda selesai sekitar jam setengah 5, netralisasi lokasi untuk persiapan wisuda yang esok harinya bisa dilakukan sekitar jam 6 atau setengah 7 sesuai dengan waktu maghrib. Petugas keamanan dan kebersihan gak perlu takut kekurangan waktu jika ada penyesuaian jadwal untuk wisuda yang hari Sabtu dengan mengikuti jadwal acara wisuda yang hari sebelumnya, yaitu sekitar ba’da Dzuhur. Tentunya penjadwalan seperti itu gak akan membentur hari perkuliahan, karena kita masih punya space yang jatuh pada hari Minggu. Lagian kan technically acaranya juga diadakan di gedung serbaguna yang notabenenya beda dengan gedung yang dipake untuk kegiatan perkuliahan, jadi seharusnya dari awal emang gak akan mengganggu mahasiswa yang kuliah di hari Senennya dong untuk netralisasi tempat.

Poin yang kedua adalah kalo kita mengasumsikan acara akan tetap diadakan di pagi hari. Seharusnya sejak awal gak ada masalah kalo kita tepat waktu memulai acara pada jam 7. Seperti yang gue bilang sebelumnya, durasi acara bisa dipangkas menjadisekitar 1 sampe 2 jam agar kita bisa mengakhiri acara sekitar jam 10. Otomatis space yang terbuka sampe masuk waktu solat Jumat adalah sekitar 2 jam, yang artinya kita gak perlu gasrak-gusruk buru-buru untuk mengejar waktu solat. Itulah yang selama ini gue asumsikan ketika diberitahu bahwa acara wisuda jatuh pada hari Jumat. Gue pikir kampus juga gak mungkin ngatur acara yang mepet-mepetin jadwal dengan jam solat Jumat di mana kita cuman punya jeda waktu sekitar sejam. Yah, meskipun begitu, gue tetep berusaha menikmati hambarnya wisuda ini.

Wisuda Bagian 1

“Towenawewenawanetaionaoitnaotoitnotitnotitooooooot”
           
Seketika gue terbangun oleh suara alarm telepon genggam yang dari penulisannya, terasa kayak gue mau ngedeskripsiin suara kentut gorila yang abis keselek terompet. Gue harus berenti masang ringtone alarm dari rekaman suara kentut gue sendiri.

Gue ngeliat hape, waktu menunjukan jam setengah 5 pagi. Gue pun langsung bergegas ke kamar mandi untuk bebersih badan. Dinginnya aer pagi hari di Bandung membuat gue cuman bertahan semenit di kamar mandi. Gue cuman sempet keramas bulu idung doang. Selesai mandi (baca: keramas bulu idung), gue ngaca, idung gue kebakar, ternyata mengganti shampo dengan odol bukanlah ide yang brilian. Setelah solat, gue langsung rapi-rapi. Dasi di leher, kemeja putih membungkus badan, dan celana bahan membentang rapi sampai ujung mata kaki. Ini bukan hari-hari biasanya di mana gue bangun jam setengah 5 pagi dan langsung stand by rapi memakai outfit formal. Hari itu adalah momen pelepasan mahasiswa Telkom University. Ya, itu adalah hari wisuda gue.

Keluarga gue dateng dari malem sebelumnya. Mereka nginep di kost gue. Kebetulan bapak kostnya yang merupakan temen Babeh menyediakan kamar untuk mereka. Tentu ini memberikan kemudahan dan efisiensi waktu bagi keluarga gue. Mengingat acara dimulai jam 7 pagi dan kondisi lalu lintas yang berkonsentrasi di daerah sekitar kampus pasti akan sangat macet. Jadi daripada bermalam di penginapan yang jaraknya agak jauh dan berisiko kena macet, mendingan nginep di kost aja yang letaknya dekat dengan kampus.

Gue berangkat sekitaran jam setengah 6 dari kost, meninggalkan keluarga yang akan nyusul ke kampus sekitar jam 7. Gue jalan dari kost ke kampus, lengkap dengan pantofel dan setelan kemeja gue. Terakhir gue jalan ke kampus dengan dandanan kayak gini adalah ketika mau sidang skripsi. Kalo flashback ke jaman-jamannya skripsian, gue jadi paham betapa berharganya gelar sarjana yang gue rengkuh ini. Gimana dulu gonta-ganti judul, digocek dosen, observasi dan dokumentasi sampe tengah malem, hingga jalanin sidang akhir dalam keadaan belom tidur semaleman. Ya ini adalah bagian dari skripsian. Ya gue rasa semua orang juga pasti punya obstacles dalam ngegarap skripsi, apapun bentuknya itu.

Seraya langkah kaki membawa badan ke depan, perasaan ini masih terbawa kenangan di belakang. Perjalanan pendek dari kost ke kampus ini pun seperti cermin perjalanan panjang dari maba menuju Sarjana Ilmu Komunikasi, di mana tiap jejak langkah yang gue tinggalkan melukiskan fase-fase perjalanan 4 tahun kuliah gue di Telkom. Langkah pertama yang gue jejakan saat keluar dari pintu kost adalah momen awal ketika gue mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Telkom. Sandungan batu yang gue terima merupakan pengalaman ospek yang pernah gue lalui. Selengkatan bocah kampung yang gue rasakan mencerminkan aral terjal gue saat menghadapi gelombang tugas kuliah (yang kemudian gue bales bocah kampung tersebut dengan ngegebok dia make bangku). Dan rentetan jejak langkah yang gue tapaki merefleksikan tahun-tahun yang gue lewatkan di Telkom University sampai akhirnya langkah ini mendaratkan diri di depan Telkom Convention Hall.

Nyampe sana kondisi masih belom terlalu rame. Gue ngeliat sekeliling; ada wisudawan-wisudawati, ada orang tua mereka, ada tukang poto dan lain-lainnya yang menggambarkan pemandangan khas acara wisuda. Ekspresi bahagia tergambar di wajah para pemakai toga. Orang tua mereka keliatan bangga melihat anaknya akan diresmikan sebagai lulusan srata satu. Gak kerasa. Perasaan baru kemaren gue make seragam kuliah Telkom, tau-tau sekarang udah make toga aja. Gue mengalami evolusi status, dari yang awalnya gue sebagai junior menyebut ‘senior’ untuk angkatan di atas gue, kemudian menjadi gue yang disebut ‘senior’ oleh junior, hingga sekarang gue mendapat sebutan alumni.

Di sana gue ketemu Bimo dan orang tua-nya. Selang ngobrol beberapa saat, temen-temen gue yang laen pun mulai berdatangan. Kita ngumpul, bercengkrama, dan melepas rasa kangen dalam suasana penuh haru bahagia. Beberapa dari kita emang udah jarang untuk saling ketemu di masa-masa tingkat akhir, khususnya gue. Dari jamannya skripsian gue emang udah kayak ansos. Anak-anak biasanya ngerjain skripsi rame-rame diskusi bareng, sedangkan gue malah kerjain sendiri. Waktu semester 8 juga frekuensi gue buat ke kampus sangat-sangat kecil. Alasan pertama karena emang dosen pembimbing gue merupakan dosen luar, jadi tiap bimbingan gue musti nempuh perjalanan 1,5 jam ngangkot dari Dayeuh Kolot ke kampus Unikom yang berada di daerah Dipati Ukur. Kalo diinget-inget sih lumayan juga effort-nya, yaa pokoknya panas dan ujan badai (literally) pernah gue rasain deeh. Belom kalo misalnya dosen udah ngebatalin janji, atau pas udah ketemu malah ditinggal cabut.

Alasan yang kedua kenapa gue jarang keliatan di kampus adalah seperti yang gue bilang di alinea sebelumnya, bahwa gue musti ngikutin subjek penelitian gue ke mana pun dia berada. Dalam hal ini informan gue merupakan seorang mahasiswa yang lagi magang di Jakarta. Dalam hal ini kita nentuin tempat ketemuan di daerah Depok, karena dia ngekost-nya di daerah sono. Dengan kata lain, gue musti bolak-balik Bandung-Bekasi-Depok buat penelitian dan bimbingan skripsi. Jadinya waktu gue di kampus emang cuman terbatas pada ke perpus dan sekretariat kampus buat ngurusin administrasi segala macem.

Sialnya, jarang ke kampus dan ketemu temen membuat gue ketinggalan banyak informasi, salah satunya yang paling fatal adalah pendaftaran sidang. Sebenernya skripsi gue udah di-acc dosen sekitaran bulan Maret. Di lain sisi, periode pendafataran sidang itu jatuh pada bulan April. Dan di sinilah begonya gue, selama itu asumsi gue adalah mahasiswa bisa daftar sidang kapan aja, soalnya seinget gue emang angkatan di atas gue sebelomnya ngejalanin prosedur yang kayak gitu. Namun, kenyataan berbicara sebaliknya. Gue ketinggalan gelombang sidang dan bahkan pada periode tersebut, gue belom nyiapin berkas-berkas persyaratan untuk daftar sidang. Transkrip TAK, sertifikat TOEFL, dan surat keterangan tetek bengek lainnya belom gue urusin. Yah, beginilah... Secara teknis, seharusnya gue wisuda Agustus, tapi karena kebegoan gue, jadinya gue musti terima untuk diundur wisudanya.

Hal-hal tersebutlah yang membuat gue selalu mendapat pertanyaan, “Dham, lo ke mana aja??” Oleh karena itu momen-momen kayak gini menjadi terkesan seperti acara reunian bagi para mahasiswa. Ya, reunian yang justru merupakan kamuflase dari acara perpisahan. Kita kembali bertemu di acara terakhir kita bisa bertemu. 

Saturday, February 7, 2015

Suatu Tempat di Luar Angkasa

Beberapa waktu yang lalu Indosat sempet dituntut warga Bekasi akibat iklannya yang dianggap mengandung unsur penghinaan.

Gue pikir seharusnya Indosat dijatuhi hukuman yang paling maksimal. Bayangin aja, beritanya ampe ke luar negeri gitu. Media luar (The Wall Street Journal, edisi 8 Februari 2015) bahkan menyebut Indosat kekanakan dan gak kreatif dalam laporannya yang berjudul Bekasi Ad Backfire Tees Up A Few Lessons. Maka dari itu gue sangat bersyukur bahwa setelah kasus tersebut, saham Indosat menurun drastis sampe level terendah (-0,74%), meski itu tetep bukan hukuman yang maksimal menurut gue (selain tentunya juga ditambah dengan opini publik yang negatif).

Semua berawal dari jokes tentang Bekasi yang menurut gue sangat-sangat 'lucu'. Iya, 'lucu', jokes yang irelevan dan gak berlandaskan pada kenyataan yang ada sangatlah lucu bagi gue (sarkas). Bekasi panas? Terus apa bedanya ama Jakarta? Bekasi macet? Again, adakah perbedaannya dengan Jakarta? Bekasi jauh dari Jakarta? Gue yang tinggal di Bekasi untuk masuk ke Jakarta aja cuman butuh waktu sekitaran 5 menit. Dari Jakarta kalo mau ke daerah barat, timur, utara, ato selatannya Bekasi juga gak sampe sejam. Maksudnya jauh tuh dari mana-ke mana? Jangan bilang kalo bandinginnya antara masing-masing ujung perbatasan Bekasi-Jakarta. Emangnya dari Jakarta ke Tangerang itu deket ya? Jakarta-Bogor? Atau sekalian Jakarta Bandung. Ya kebiasaan orang yang terjebak dalam sentralisasi kota. Yang bilang Jakarta-Bekasi itu jauh ya antara orang delusional bodoh gak punya otak yang gak pernah buka peta ato orang lenje yang gak pernah jalan dikit ke luar. Jakarta-Bekasi aja dibilang jauh, gimana Jakarta-Bandung? Padahal dari Jakarta mau ke Bandung aja musti lewat Bekasi dulu. Sangat subjektif. Gue bingung, dari sekian banyaknya kota di Indonesia, kenapa Bekasi yang dibilang paling jauh. Bahkan saking hiperbolanya mereka dalam menggambarkan jarak yang 'jauh' dari Jakarta ke Bekasi, orang-orang ampe bikin meme (bacanya mim) bahwa sebenernya Bekasi itu terletak di luar angkasa. Kebayang kalo posisi Bekasi diganti ama Aceh atau Papua,

"Papua itu bukan di Indonesia, Papua itu adanya di luar angkasa."

Indonesia siap-siap kalang kabut. Orang Indonesia yang menggembor-gemborkan asas persatuan malah bikin jokes yang mengundang separatisme.

Jujur, dulu gue ama temen gue si Chandra merupakan salah satu yang suka bikin lelucon tentang Bekasi. Lelucon di sini konteksnya adalah tentang kulturnya yang dekat dengan budaya Betawi (which is budaya yang sama dengan Jakarta). Yang ngebuat lucu saat itu adalah bahasa slang yang banyak lahir di sana sebagai modifikasi dari bahasa Betawi yang membentuk suatu subkultur baru. Gimana bahasa prokem yang sering diasosiasiin sebagai bahasa Bekasi itu dulu sehari-harinya sering gue denger dari sopir angkot ato temen sekolah (yang ironisnya sebenernya hal itu semua gue denger kebanyakan dari Jakarta). Kata-kata kayak 'bagen', 'betak', 'gaprak', dll-nya suka mampir ke terowongan telinga gue. Gue yang lahir di Jakarta dan sekolah 12 tahun di Jakarta pula paham bener asal-muasal kebudayaan baru tersebut. Jakarta ama Bekasi emang punya suatu kekerabatan budaya dalam hal ini. Itu yang menjadi bahan jokes gue ama Chandra, bukan hal lain.

Antara Bodoh dan Gak Punya Cermin

"Kalo lu lagi di jalan tiba-tiba jalanan rusak, berarti lu udah masuk Bekasi"

Ooh iyaa... soalnya Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia udah punya tata ruang yang modern kayak Tokyo, Seoul, atau New York, di mana jalanannya mulus semua. *Tepuk tangan...* Gue sangat bangga sebagai WNI... Tapi bener lho... coba deh cek jalan 'mulus' ibu kota kita di SINI, temen-temen pasti bakal takjub melihatnya.

Warga Jakarta bisa berbangga terhadap pembangunan kotanya. Mereka bisa kayak gitu ya emang karena status dari Jakarta sendiri yang merupakan daerah khusus istimewa alias ibu kota yang notabenenya dapet perhatian lebih dari pemerintah. Cuman itu doang, terlepas dari itu semua sama. Ya namanya ibu kota, masa pembangunannya gak merata, tar apa kata tamu-tamu dari luar negeri? Even walaupun udah dapet perhatian lebih kayak gitu juga Jakarta masih belom bersih dari tempat kumuh nan melarat di mana jalanan rusak cuman salah satu aspek dari daerah terbelakang tersebut... oh wait...

Jadi, warga Jakarta gak usah sombong dan sok menghina Bekasi. Jakarta kalo gak ada Bekasi sebagai kota satelit ya bakalan ancur juga, wong tiap hari kita yang nyokong kota Jakarta. Sama halnya dengan Tangerang, Bogor, atau kota-kota satelit lainnya. Kalo misalnya Bogor pedalaman itu pembangunan daerahnya semaju Bogor yang di pusat kotanya, maka gue akan menarik kata-kata gue dan bakal menghapus post ini. Kejelekan-kejelekan kota Bekasi yang suka jadi bahan cengan itu merupakan kejelekan-kejelekan kota mereka sendiri. Jadi... yah kalo bisa buru-buru ke pasar deh, cari tukang cermin. Ibaratnya mereka itu kayak maling teriak maling.

Mirisnya dari ironi yang ada, orang daerah yang tempat tinggalnya lebih antah berantah dari Bekasi malah ikut ngecengin Bekasi. Orang dari daerah yang kalo mau nyari tempat perbelanjaan aja musti ke pusat kota dulu di mana angkutan umum juga masih jarang malah ngejek Bekasi. Gue ampe inget celotehan temen gue yang dari DAERAH ketika kita lagi makan di suatu kedai deket kampus, Bandung Selatan, tempat yang sebenernya juga... yah gimana ya...

"Ni, Dham... makanan kayak begini ada gak di Bekasi? Hahah..."

Tentunya gue ketawa, karena dia ngomong kayak gitu di tempat yang jauh dari pusat kota yang serbamodern. Ya bayangin aja, kita lagi makan makanan murah di kedai kecil yang sangat terpelosok, dia malah ngumbar masalah gengsi makanan. Gue penasaran, emang aspek apa sih yang ngebuat Bekasi terkesan jadi kota kampung?

Hal-hal kayak gini adalah buah kejelekan dari media sosial, khususnya situs meme (bacanya mim). Jaman sekarang postingan-postingan yang membodohi kayak gitu adalah contoh rill dari efek jarum hipodermik. Satu post yang bodoh bisa menggeneralisasi dan mendoktrin mindset orang awam tentang suatu hal yang sama sekali gak bener. Sekarang kalo misalnya kata Bekasi terucap, atau diketik dalam search engine, pasti yang keluar malah citra-citra buruk Bekasi. Salah-salah di ke depannya bisa ada diskriminasi di mana orang Bekasi dianggap kampung dan outsiders sehingga individu-individunya sendiri selalu menjadi sasaran ejekan. Tar jangan-jangan kita malah dipanggil alien lagi kayak perlakuan yang didapet orang amerika-meksiko yang beraksen spanish di USA. Well, sekarang aja Bekasi dibilangnya terletak di luar angkasa. Seolah-olah Bekasi itu adalah aib yang keberadaannya cuman malu-maluin Indonesia yang harus dibuang jauh-jauh ke luar angkasa. Di saat orang-orang Indonesia dengan bangganya berlomba untuk mengkampanyekan masing-masing kota mereka sebagai destinasi paling bagus, ni malah ada sekumpulan orang yang ngejelek-jelekin satu kota. Pantes gak sih yang kayak gitu disebut sebagai aplikasi Bhinneka Tunggal Ika?

Untuk para original posters, kalo mau bikin jokes, mendingan telaah dulu deh subjeknya, cek relevansinya, buka google, buka peta. Orang mau membuat suatu kota terlihat bodoh, tapi malah mereka sendiri yang keliatan bodoh. Gak ada excuse macem, "Yaelah, Dham... namanya juga bercanda..." Ini bukan pencemaran nama baik individu lagi, ini pencemaran nama baik kota, ada banyak kepala di dalamnya. Berita ini udah sampe ke luar lho. Kelakuan macem gini udah mempermalukan nama Indonesia di mata internasional. Jadi tolong untuk lebih dewasa. Kita punya batasan, jangan mau jadi kayak orang barat yang menuhankan falsafah kebebasan dalam berekspresi. Untuk Indosat, perusahaan besar yang ternyata belom paham ama SP3SPS, besok-besok kalo mau bikin iklan, tolong disaring lagi deh otaknya yah.

Dibilang curhat, bitching, atau sekalian lebay ya bodo amatlah. Malah harusnya pemerintah kota Bekasi terima kasih ama gue karena udah ngedefend dan promosiin Bekasi secara gak langsung. Ya itu aja deh.

Sisi Positif

Di satu sisi, kasus kayak gini bisa memberikan dampak positif bagi pemerintah kota sebagai bentuk evaluasi dalam membangun kota Bekasi. Untuk yang satu ini gue emang setuju, bahwa orang-orang korup masih berkeliaran di bawah langit Bekasi (tapi bukannya jaman sekarang emang gak gampang yah nyari para pemegang kepentingan yang jujur di Indonesia?). Kemudian gue pikir hal-hal semacem ini juga bisa meningkatkan patriotisme kita sebagai warga lokal. Like seriously, orang Bekasi mana yang gak marah ketika kotanya di-bully?

P.S: Sori kalo tulisannya berantakan. Sebenernya lagi males nulis, cuman kayaknya dada rada sesak kalo pemikiran ini gak dituangkan dalam tulisan.