Saturday, April 27, 2013

There's Always Person Like That

Selalu ada orang yang begitu, yang memandang sebelah mata terhadap sebagian kecil yang ditampakan oleh orang lain, sementara sebelah matanya lagi tidak ia pakai untuk melihat keseluruhan dari orang yang ia nilai. Selalu ada orang yang begitu, yang apabila ia melihat segala sesuatu yang berbeda dengan pola pikir dan sudut pandangnya, apapun bentuknya dan sekecil apapun hal tersebut, maka orang itu akan menganggapnya aneh dan bodoh. Selalu ada orang yang begitu, yang menjadikan persepsi awal dan justifikasi subjektifnya sebagai landasan dalam memerlakukan orang lain secara berkala.

Sering sekali kita direndahkan dan diremehkan karena satu hal remeh yang tidak sampai separuhnya dari diri ini yang dilihat oleh orang lain. Satu contoh bila yang dilihat orang lain adalah penampilan kita, misalnya karena gue jalan ke mall make kaos kutang doang, terus pas gue pengen beli sesuatu di pasar swalayan, si kasir bilang, “Emangnya mas punya duit?”. Padahal kan gue make kaos kutang bukan berarti gue gak punya duit. Si kasir gak tau aja kalo gue jalan make kaos kutang karena tank top yang biasa gue pake lagi dicuci.

Tidak hanya dilihat, tapi juga didengar. Kadang kita suka mendengar sepenggal kalimat berbunyi, “You are what you say”. Yess, gue setuju, kepribadian orang memang tercermin dari kata-kata yang dikeluarkannya. Tapi separuhnya lagi gue gak setuju. Kenapa? Karena mulut hanyalah perangkat sandiwara terkecil yang dimiliki manusia. Misalnya seorang inferior yang sifatnya tidak suka mendominasi dan meninggikan dirinya sendiri, yang di setiap perdebatan, ia selalu menarik diri dengan berusaha mengalah karena ketidaksukaannya terhadap pertikaian dan lebih memilih untuk menyerahkan kemenangan kepada si superior demi mendapat ketentraman. Dalam berkata, ia cenderung humble dan merendahkan dirinya sendiri, juga tidak berusaha memamerkan potensi dirinya. Karena sikapnya yang seperti itu, orang lain jadi merasa ia tidak lebih dari orang yang gak tau apa-apa dan sangat layak untuk direndahkan.

Tidak hanya masalah kesederhanaan, karena bahkan ada juga orang yang menyembunyikan kepintarannya melalui tindakan dan kata-kata yang bisa dibilang bodoh dan nyeleneh, contohnya adalah Rowan Atkinson. Coba deh, emangnya dari luar dia pernah keliatan bener? Kalo cuman ngejudge dari peran konyolnya di serial Mr. Bean, orang-orang gak akan tau kalo dia itu insinyur elektro. Liat Dexter Holland. Orang biasa ngasih stereotype kalo anak band itu serampangan dan idupnya gak pernah bener. Tapi gak ada yang tau kan kalo dia pernah jadi kandidat untuk Ph.D di bidang biologi molekuler? Dia ngebuang kesempatan itu buat fokus di bandnya, Offspring. Gak hanya itu, ia juga punya gelar sarjana dan master di bidang biologi molekuler. Kebayang gimana pinternya mereka?

Coba kita liat contoh lainnya yang gue ambil dari cerita fiksi, yaitu Itachi Uchiha. Gue yakin temen-temen yang gila komik pasti udah pada tau karakter ini dong. Yap, karakter ini berasal dari komik Jepang ciptaan Masashi Kishimoto bertajukan Naruto. Di awal cerita pada komiknya, dia dideskripsikan sebagai tokoh antagonis yang mempunyai sejarah kelam dengan membunuh sanak saudaranya sendiri. Ketika awal ngebaca komiknya, kita sering disuguhkan oleh kata-kata kejamnya yang menusuk serta perlakuan tanpa ampunnya kepada adiknya, Sasuke. Saat itu, kita pasti beranggapan kalau dia adalah salah satu tokoh jahat ngeselin yang tidak sayang kepada adiknya sendiri. Padahal mah setelah berarung ke volume yang lebih besar, ternyata realita yang terbaca sama sekali berbeda dengan kenyataan terselubung yang disimpannya. Ternyata, ia adalah seorang kakak yang sangat menyayangi dan selalu berusaha melindungi adiknya sampai harus bersandiwara sebagai penjahat. Ia rela diperalat dan dibenci orang lain asal itu bisa membuat adiknya aman. Nah, berarti kan apa yang biasa ia ucapkan sama sekali gak merefleksikan perasaannya yang sesungguhnya kepada Sasuke. Mulut sama hati jadi gak sama kan?

Balik lagi ke soal remeh-meremehkan yang juga bersambungan erat dengan orang yang terlalu dibatasi oleh sudut pandang yang selalu mengkultuskan pendapatnya, sehingga ia jadi berkebiasaan  untuk meininggikan dirinya yang diikuti dengan sikap merendahkan orang lain. Ini sangat merugikan orang lain yang apabila segala sesuatunya yang dilihat berbeda dan tidak sesuai dengan sudut pandangnya, maka ia akan dianggap salah, aneh, dan bodoh. Kenapa merugikan? Karena sangat mungkin terjadi pendapat orang yang selalu merasa dirinya benar ini akan memengaruhi pendapat orang lain terhadap diri kita yang berujung pada suatu pemberian cap buruk. Kalo pengalaman gue sih, dalam sebuah forum, gue pernah mengutarakan pendapat yang berbeda dengan pola pikir salah satu partisipan diskusi. Nah, karena perbedaan itulah dia menganggap gue aneh dan bodoh, sampai menertawakan gue secara abis-abisan. Saat itu gue merasa dipermalukan. Gue juga merasa heran dengan tidak dijunjungnya etika dalam sebuah forum tersebut. Karena gue penasaran dan supaya gue juga gak memutuskan secara sepihak hanya berdasarkan sudut pandang gue aja, jadi gue cari temen diskusi, terus gue tanya deh ke dia mengenai hal itu. Ternyata temen diskusi gue itu berpendapat bahwa pendapat gue tersebut gak salah dan memang gak pantas untuk ditertawakan, jadi gak ada yang aneh dengan logika pemikiran gue. Dari situ dapat dibuktikan bahwa orang yang dianggap remeh oleh satu orang berbeda, tidak selalu remeh di mata orang lain. Pola pemikiran yang selalu meninggikan persepektifnya sendiri sangatlah salah. Kita tidak bisa memaksakan dunia untuk harus selalu mengikuti apa yang kita mau sesuai dengan sudut pandang kita. Salah besar apabila kita selalu menganggap benar diri kita sendiri tanpa memedulikan pendapat orang lain. Gak peduli seberapa tinggi tingkat pendidikan dia atau seberapa banyak pengalaman yang dimilikinya, dia gak bisa memaksakan orang untuk bilang 2 + 2 = 13. Dalam menilik sebuah masalah, seyogyanya kita jangan dibutakan oleh pandangan subjektif dari teropong yang kita punya, karena perbedaan persepsi selalu ada, dan keragaman pendapat pun selalu tercipta.

Emang kalo masalah persepsi sementara yang tercipta dari suatu sensor yang ditangkap oleh panca indera pasti selalu ada pada masing-masing dari diri kita. Itu udah natural terjadi. Pasti secara gak sadar pikiran kita tertuntun untuk mengeluarkan subjektifitas ini. Tapi bukan berarti kita dengan mudah dan gamblang bisa mengutarakan apa yang kita pikirkan tanpa difilterisasi dulu. Kenapa? Karena status kita masih menjadi orang yang sok tau bak analis yang baru mengetahui separuh kecil kebenaran. Gue sendiri sebenernya dulu termasuk orang yang seperti itu, menilai orang berdasarkan impresi pertama yang didapat, walaupun sebenernya hal yang gue pikirkan itu masih tertahan di lidah karena kehati-hatian gue dalam berujar. Namun makin ke sini, gue semakin sadar kalo gue itu salah. Gue gak berhak menghakimi orang lain, karena menurut gue, satu-satunya yang berhak untuk melakukan hal seperti itu adalah hakim yang seadil-adilnya, yaitu Sang Khalik. Yah, walaupun hal ini terlepas dari seburuk apa amalan dia (misal : naro bom rakitan di jamban orang yang lagi boker), yang pasti, sebelum kita bisa menyelami hati manusia secara mendalam dari yang terdalam, kita gak berhak melontarkan komentar negatif hanya berdasarkan sensasi awal yang kita dapat.
Coba pikir deh, gak adil banget kalo kita melabeli orang buruk hanya dari setitik tinta yang memercik pada dirinya. Contohnya, gegara kita ngeliat siswi SMA yang jalannya ngangkang, otomatis kita jadi ngejudge dia sebagai cewek gak baik yang udah kehilangan keperawanan. Padahal kan belom tentu. Bisa aja dia jalan ngangkang gara-gara dulu pernah koprol di atas genteng terus tiba-tiba selangkangannya kesangkut kawat jemuran. Atau bisa aja dia pernah boker di kali terus tiba-tiba selangkangannya digigit biawak, abis itu selangkangannya ilang (terus jalannya gimana). Atau mungkin lagi bisa aja dulu dia pernah dibonceng tukang ojeg, terus gegara duduknya di depan setang motor, selangkangannya jadi kejepit rem tangan. Bisa aja.

Yang lebih gak adil lagi kalo kita diperlakukan berdasarkan persepsi awal semata. Karena ngeliat siswi SMA yang jalannya ngangkang tadi, dia jadi gak menghormati cewek tersebut, sehingga perlakuannya pun jadi semena-mena. Hanya karena opini “sok tau”-nya itu, ia jadi melanggar batas-batas norma. Tidak jarang bahkan orang tersebut sampe gak menghargai kesamaan derajat dan martabat siswi itu sebagai wanita. Kan gak adil.

Yang bahaya adalah apabila sesuatu yang belum dipastikan kebenarannya tersebut disebarluaskan secara brutal kepada orang-orang sekitar alias gosip. Kata orang mah yang suka ngegosip itu adalah anak cewek, padahal enggak juga, karena pada kenyataannya tiap anak cowok ngumpul, mereka bawaannya juga suka ngomongin (aib) orang lain. Dan kebiasaan menggosip itu juga sering muncul di dalam suatu perkumpulan heterogen (cowok ngumpul ama anak cewek atau sebaliknya, bukan heterogen berarti anak cowok ngumpul ama makhluk lain kayak pocong ababil).

Mungkin kita udah familiar dengan yang namanya kata ‘gosip’, tapi apa kita tau impact dari gosip ini sendiri? Misalnya, gue digosipin nikah siri ama Ahmad Dhani, padahal gue udah ijab qobul ama Ivan Gunawan, terus besoknya pas di kampus gue jadi bahan olok-olok ama temen-temen, gue dilemparin telor, ditimpuk tepung terigu, ditaro di penggorengan, dijadiin martabak, abis itu karena stres, gue jadi bunuh diri minum obat nyamuk, tapi masalahnya gue malah jadi sembuh dari penyakit nyamuk. Fatal kan?

Gosip itu adalah kata halus dari fitnah, dan fitnah lebih kejam dari fitness. Membayangkan hal-hal yang dibuahkan oleh gosip aja udah bisa bikin bulu kuduk direbonding. Kalo efek gosip udah terlalu luas, takutnya malah jadi seperti apa yang udah gue bahas di atas, yaitu labelling. Mending kalo kita dicap sebagai orang yang baik, nah kalo sebaliknya? Mau ngapain aja pasti jadi susah.

***

"Terus kesimpulannya dari tulisan ini apaan?"

Yah, dari semuanya itu kesimpulannya sih yang pertama adalah manusia itu ibarat gunung es, apa yang terlihat di atas permukaan hanyalah sebagian kecil dari bentuk keseluruhan. 


Yang kedua ialah dunia tidak sesempit sudut pandang kita, karena masih banyak mata lain yang menaruh pandang pada dunia ini. 


Dan yang terakhir adalah, kita ini makhluk yang kompleks dan dinamis, sebuah impresi pertama tidak akan bisa mendefinisikan kita secara seutuhnya untuk setiap waktu yang bergulir.


Terima kasih, saya Idham Hanafiah, inilah Hitam Burik

5 comments:

  1. bagus kak postingannya^^
    tumben, wkwk :D

    ReplyDelete
  2. haha saya juga bingung...tumben-tumbenan postingannya rada sentimen kayak begitu he

    ReplyDelete
  3. mungkin efek dari ganti template background juga kak hehehe

    ReplyDelete
  4. hahah iya kali yak? backgrounnya sok-sokan anak band kayak begitu euheuhe ya daripada yang dulu yang cuman keliatan gambar siluet saya...lobang idungnya ngeselin hahah

    ReplyDelete
  5. wakaka daripada background kemarin pake fotonya langsung kak, gak disiluetin, narsis banget jadinya wkwkwk

    ReplyDelete