Selalu ada orang yang begitu, yang memandang sebelah mata
terhadap sebagian kecil yang ditampakan oleh orang lain, sementara sebelah
matanya lagi tidak ia pakai untuk melihat keseluruhan dari orang yang ia nilai.
Selalu ada orang yang begitu, yang apabila ia melihat segala sesuatu yang
berbeda dengan pola pikir dan sudut pandangnya, apapun bentuknya dan sekecil
apapun hal tersebut, maka orang itu akan menganggapnya aneh dan bodoh. Selalu
ada orang yang begitu, yang menjadikan persepsi awal dan justifikasi subjektifnya
sebagai landasan dalam memerlakukan orang lain secara berkala.
Sering sekali kita direndahkan dan diremehkan karena satu
hal remeh yang tidak sampai separuhnya dari diri ini yang dilihat oleh orang
lain. Satu contoh bila yang dilihat orang lain adalah penampilan kita, misalnya
karena gue jalan ke mall make kaos kutang doang, terus pas gue pengen beli
sesuatu di pasar swalayan, si kasir bilang, “Emangnya mas punya duit?”. Padahal
kan gue make kaos kutang bukan berarti gue gak punya duit. Si kasir gak tau aja
kalo gue jalan make kaos kutang karena tank top yang biasa gue pake lagi
dicuci.
Tidak hanya dilihat, tapi juga didengar. Kadang kita suka
mendengar sepenggal kalimat berbunyi, “You are what you say”. Yess, gue setuju,
kepribadian orang memang tercermin dari kata-kata yang dikeluarkannya. Tapi
separuhnya lagi gue gak setuju. Kenapa? Karena mulut hanyalah perangkat
sandiwara terkecil yang dimiliki manusia. Misalnya seorang inferior yang
sifatnya tidak suka mendominasi dan meninggikan dirinya sendiri, yang di setiap
perdebatan, ia selalu menarik diri dengan berusaha mengalah karena ketidaksukaannya
terhadap pertikaian dan lebih memilih untuk menyerahkan kemenangan kepada si
superior demi mendapat ketentraman. Dalam berkata, ia cenderung humble dan
merendahkan dirinya sendiri, juga tidak berusaha memamerkan potensi dirinya. Karena
sikapnya yang seperti itu, orang lain jadi merasa ia tidak lebih dari orang
yang gak tau apa-apa dan sangat layak untuk direndahkan.
Tidak hanya masalah kesederhanaan, karena bahkan ada juga orang yang menyembunyikan kepintarannya melalui tindakan dan kata-kata yang bisa dibilang bodoh dan nyeleneh, contohnya adalah Rowan Atkinson. Coba deh, emangnya dari luar dia pernah keliatan bener? Kalo cuman ngejudge dari peran konyolnya di serial Mr. Bean, orang-orang gak akan tau kalo dia itu insinyur elektro. Liat Dexter Holland. Orang biasa ngasih stereotype kalo anak band itu serampangan dan idupnya gak pernah bener. Tapi gak ada yang tau kan kalo dia pernah jadi kandidat untuk Ph.D di bidang biologi molekuler? Dia ngebuang kesempatan itu buat fokus di bandnya, Offspring. Gak hanya itu, ia juga punya gelar sarjana dan master di bidang biologi molekuler. Kebayang gimana pinternya mereka?
Tidak hanya masalah kesederhanaan, karena bahkan ada juga orang yang menyembunyikan kepintarannya melalui tindakan dan kata-kata yang bisa dibilang bodoh dan nyeleneh, contohnya adalah Rowan Atkinson. Coba deh, emangnya dari luar dia pernah keliatan bener? Kalo cuman ngejudge dari peran konyolnya di serial Mr. Bean, orang-orang gak akan tau kalo dia itu insinyur elektro. Liat Dexter Holland. Orang biasa ngasih stereotype kalo anak band itu serampangan dan idupnya gak pernah bener. Tapi gak ada yang tau kan kalo dia pernah jadi kandidat untuk Ph.D di bidang biologi molekuler? Dia ngebuang kesempatan itu buat fokus di bandnya, Offspring. Gak hanya itu, ia juga punya gelar sarjana dan master di bidang biologi molekuler. Kebayang gimana pinternya mereka?
Coba kita liat contoh lainnya yang gue ambil dari cerita
fiksi, yaitu Itachi Uchiha. Gue yakin temen-temen yang gila komik pasti udah
pada tau karakter ini dong. Yap, karakter ini berasal dari komik Jepang ciptaan
Masashi Kishimoto bertajukan Naruto. Di awal cerita pada komiknya, dia dideskripsikan
sebagai tokoh antagonis yang mempunyai sejarah kelam dengan membunuh sanak
saudaranya sendiri. Ketika awal ngebaca komiknya, kita sering disuguhkan oleh
kata-kata kejamnya yang menusuk serta perlakuan tanpa ampunnya kepada adiknya,
Sasuke. Saat itu, kita pasti beranggapan kalau dia adalah salah satu tokoh
jahat ngeselin yang tidak sayang kepada adiknya sendiri. Padahal mah setelah
berarung ke volume yang lebih besar, ternyata realita yang terbaca sama sekali
berbeda dengan kenyataan terselubung yang disimpannya. Ternyata, ia adalah
seorang kakak yang sangat menyayangi dan selalu berusaha melindungi adiknya sampai
harus bersandiwara sebagai penjahat. Ia rela diperalat dan dibenci orang lain asal itu bisa membuat adiknya aman. Nah, berarti kan apa yang biasa ia ucapkan
sama sekali gak merefleksikan perasaannya yang sesungguhnya kepada Sasuke. Mulut
sama hati jadi gak sama kan?
Balik lagi ke soal remeh-meremehkan yang juga bersambungan erat
dengan orang yang terlalu dibatasi oleh sudut pandang yang selalu mengkultuskan
pendapatnya, sehingga ia jadi berkebiasaan untuk meininggikan dirinya yang diikuti dengan
sikap merendahkan orang lain. Ini sangat merugikan orang lain yang apabila segala
sesuatunya yang dilihat berbeda dan tidak sesuai dengan sudut pandangnya, maka
ia akan dianggap salah, aneh, dan bodoh. Kenapa merugikan? Karena sangat
mungkin terjadi pendapat orang yang selalu merasa dirinya benar ini akan
memengaruhi pendapat orang lain terhadap diri kita yang berujung pada suatu pemberian cap buruk. Kalo pengalaman gue sih, dalam sebuah forum, gue pernah
mengutarakan pendapat yang berbeda dengan pola pikir salah satu partisipan
diskusi. Nah, karena perbedaan itulah dia menganggap gue aneh dan bodoh, sampai
menertawakan gue secara abis-abisan. Saat itu gue merasa dipermalukan. Gue juga
merasa heran dengan tidak dijunjungnya etika dalam sebuah forum tersebut. Karena
gue penasaran dan supaya gue juga gak memutuskan secara sepihak hanya
berdasarkan sudut pandang gue aja, jadi gue cari temen diskusi, terus gue tanya
deh ke dia mengenai hal itu. Ternyata temen diskusi gue itu berpendapat bahwa
pendapat gue tersebut gak salah dan memang gak pantas untuk ditertawakan, jadi gak ada
yang aneh dengan logika pemikiran gue. Dari situ dapat dibuktikan bahwa orang
yang dianggap remeh oleh satu orang berbeda, tidak selalu remeh di mata orang
lain. Pola pemikiran yang selalu meninggikan persepektifnya sendiri sangatlah
salah. Kita tidak bisa memaksakan dunia untuk harus selalu mengikuti apa yang
kita mau sesuai dengan sudut pandang kita. Salah besar apabila kita selalu
menganggap benar diri kita sendiri tanpa memedulikan pendapat orang lain. Gak
peduli seberapa tinggi tingkat pendidikan dia atau seberapa banyak pengalaman
yang dimilikinya, dia gak bisa memaksakan orang untuk bilang 2 + 2 = 13. Dalam
menilik sebuah masalah, seyogyanya kita jangan dibutakan oleh pandangan
subjektif dari teropong yang kita punya, karena perbedaan persepsi selalu ada,
dan keragaman pendapat pun selalu tercipta.
Emang kalo masalah persepsi sementara yang tercipta dari
suatu sensor yang ditangkap oleh panca indera pasti selalu ada pada
masing-masing dari diri kita. Itu udah natural terjadi. Pasti secara gak sadar
pikiran kita tertuntun untuk mengeluarkan subjektifitas ini. Tapi bukan berarti
kita dengan mudah dan gamblang bisa mengutarakan apa yang kita pikirkan tanpa
difilterisasi dulu. Kenapa? Karena status kita masih menjadi orang yang sok tau
bak analis yang baru mengetahui separuh kecil kebenaran. Gue sendiri sebenernya
dulu termasuk orang yang seperti itu, menilai orang berdasarkan impresi pertama
yang didapat, walaupun sebenernya hal yang gue pikirkan itu masih tertahan di
lidah karena kehati-hatian gue dalam berujar. Namun makin ke sini, gue semakin
sadar kalo gue itu salah. Gue gak berhak menghakimi orang lain, karena menurut
gue, satu-satunya yang berhak untuk melakukan hal seperti itu adalah hakim yang
seadil-adilnya, yaitu Sang Khalik. Yah, walaupun hal ini terlepas dari seburuk
apa amalan dia (misal : naro bom rakitan di jamban orang yang lagi boker), yang
pasti, sebelum kita bisa menyelami hati manusia secara mendalam dari yang
terdalam, kita gak berhak melontarkan komentar negatif hanya berdasarkan
sensasi awal yang kita dapat.
Coba pikir deh, gak adil banget kalo kita melabeli orang buruk hanya dari setitik tinta yang memercik pada dirinya. Contohnya, gegara kita ngeliat siswi SMA yang jalannya ngangkang, otomatis kita jadi ngejudge dia sebagai cewek gak baik yang udah kehilangan keperawanan. Padahal kan belom tentu. Bisa aja dia jalan ngangkang gara-gara dulu pernah koprol di atas genteng terus tiba-tiba selangkangannya kesangkut kawat jemuran. Atau bisa aja dia pernah boker di kali terus tiba-tiba selangkangannya digigit biawak, abis itu selangkangannya ilang (terus jalannya gimana). Atau mungkin lagi bisa aja dulu dia pernah dibonceng tukang ojeg, terus gegara duduknya di depan setang motor, selangkangannya jadi kejepit rem tangan. Bisa aja.
Coba pikir deh, gak adil banget kalo kita melabeli orang buruk hanya dari setitik tinta yang memercik pada dirinya. Contohnya, gegara kita ngeliat siswi SMA yang jalannya ngangkang, otomatis kita jadi ngejudge dia sebagai cewek gak baik yang udah kehilangan keperawanan. Padahal kan belom tentu. Bisa aja dia jalan ngangkang gara-gara dulu pernah koprol di atas genteng terus tiba-tiba selangkangannya kesangkut kawat jemuran. Atau bisa aja dia pernah boker di kali terus tiba-tiba selangkangannya digigit biawak, abis itu selangkangannya ilang (terus jalannya gimana). Atau mungkin lagi bisa aja dulu dia pernah dibonceng tukang ojeg, terus gegara duduknya di depan setang motor, selangkangannya jadi kejepit rem tangan. Bisa aja.
Yang lebih gak adil lagi kalo kita diperlakukan berdasarkan
persepsi awal semata. Karena ngeliat siswi SMA yang jalannya ngangkang tadi,
dia jadi gak menghormati cewek tersebut, sehingga perlakuannya pun jadi
semena-mena. Hanya karena opini “sok tau”-nya itu, ia jadi melanggar
batas-batas norma. Tidak jarang bahkan orang tersebut sampe gak menghargai
kesamaan derajat dan martabat siswi itu sebagai wanita. Kan gak adil.
Yang bahaya adalah apabila sesuatu yang belum dipastikan kebenarannya tersebut disebarluaskan secara brutal kepada orang-orang sekitar alias gosip. Kata orang mah yang suka ngegosip itu adalah anak cewek, padahal enggak juga, karena pada kenyataannya tiap anak cowok ngumpul, mereka bawaannya juga suka ngomongin (aib) orang lain. Dan kebiasaan menggosip itu juga sering muncul di dalam suatu perkumpulan heterogen (cowok ngumpul ama anak cewek atau sebaliknya, bukan heterogen berarti anak cowok ngumpul ama makhluk lain kayak pocong ababil).
Yang bahaya adalah apabila sesuatu yang belum dipastikan kebenarannya tersebut disebarluaskan secara brutal kepada orang-orang sekitar alias gosip. Kata orang mah yang suka ngegosip itu adalah anak cewek, padahal enggak juga, karena pada kenyataannya tiap anak cowok ngumpul, mereka bawaannya juga suka ngomongin (aib) orang lain. Dan kebiasaan menggosip itu juga sering muncul di dalam suatu perkumpulan heterogen (cowok ngumpul ama anak cewek atau sebaliknya, bukan heterogen berarti anak cowok ngumpul ama makhluk lain kayak pocong ababil).
Mungkin kita udah familiar dengan yang namanya kata ‘gosip’,
tapi apa kita tau impact dari gosip ini sendiri? Misalnya, gue digosipin nikah
siri ama Ahmad Dhani, padahal gue udah ijab qobul ama Ivan Gunawan, terus
besoknya pas di kampus gue jadi bahan olok-olok ama temen-temen, gue dilemparin
telor, ditimpuk tepung terigu, ditaro di penggorengan, dijadiin martabak, abis
itu karena stres, gue jadi bunuh diri minum obat nyamuk, tapi masalahnya gue
malah jadi sembuh dari penyakit nyamuk. Fatal kan?
Gosip itu adalah kata halus dari fitnah, dan fitnah lebih
kejam dari fitness. Membayangkan hal-hal yang dibuahkan oleh gosip aja udah
bisa bikin bulu kuduk direbonding. Kalo efek gosip udah terlalu luas, takutnya
malah jadi seperti apa yang udah gue bahas di atas, yaitu labelling. Mending
kalo kita dicap sebagai orang yang baik, nah kalo sebaliknya? Mau ngapain aja
pasti jadi susah.
***
"Terus kesimpulannya dari tulisan ini apaan?"
"Terus kesimpulannya dari tulisan ini apaan?"
Yah, dari semuanya itu kesimpulannya sih yang pertama
adalah manusia itu ibarat gunung es, apa yang terlihat di atas permukaan hanyalah sebagian kecil dari bentuk keseluruhan.
Yang kedua ialah dunia tidak
sesempit sudut pandang kita, karena masih banyak mata lain yang menaruh pandang pada dunia ini.
Dan yang terakhir adalah, kita ini makhluk yang kompleks dan dinamis, sebuah impresi
pertama tidak akan bisa mendefinisikan kita secara seutuhnya untuk setiap waktu
yang bergulir.
Terima kasih, saya Idham Hanafiah, inilah Hitam Burik
bagus kak postingannya^^
ReplyDeletetumben, wkwk :D
haha saya juga bingung...tumben-tumbenan postingannya rada sentimen kayak begitu he
ReplyDeletemungkin efek dari ganti template background juga kak hehehe
ReplyDeletehahah iya kali yak? backgrounnya sok-sokan anak band kayak begitu euheuhe ya daripada yang dulu yang cuman keliatan gambar siluet saya...lobang idungnya ngeselin hahah
ReplyDeletewakaka daripada background kemarin pake fotonya langsung kak, gak disiluetin, narsis banget jadinya wkwkwk
ReplyDelete