Thursday, November 3, 2016

4 November

Sebelumnya gue pengen ngasih tau bahwa gue gak berada di pihak mana-mana alias netral.

Jadi... langsung aja,

menurut gue demo 4 November 2016 itu penuh dengan kontradiksi dan ironi.

Gimana ya, menurut gue si Ahok itu gak ada maksud untuk menghina ayat Al-Quran. Gue menafsirkan bahwa dia pengen ngomong kalo orang-orang kita itu udah dipengaruhi dengan menggunakan ayat Al-Quran.

Gue gak ngomong kalo dia bener, karena menurut gue dia emang salah. Kerja mah kerja aja, kampanye ya kampanye aja, gak usah bawa-bawa Al-Quran, udah tau tipikal orang-orang Indonesia kayak begitu.

Kata kuncinya adalah penggunaan kata 'pake' dan 'oleh'. Penggunaan kata 'oleh' mengindikasikan bahwa ayat Al-Quran udah digunakan sebagai instrumen atau alat untuk mempengaruhi orang lain. Sedangkan penggunaan kata 'oleh' menunjukan bahwa ayat Al-Quran udah ngebohongin umat Muslim.

Yang lucu adalah gini, doi dianggep menistakan ama Islam, terus apa kabarnya dengan orang-orang udah ngebakar tempat ibadah Gue pikir kalo mau menuntut hukum seseorang atas perilaku penistaan agama, kita semua harus konsisten, karena di luar sana banyak banget kasus-kasus serupa dengan praktik penistaan yang lebih parah. Gak susah nyari orang-orang yang menghina Islam atau agama-agama yang lain. Di medsos aja udah menjamur tuh ungkapan-ungkapan kebencian terhadap agama (bukan cuman Islam, tapi juga agama-agama lain). Si Dhani mo ikut demo 4 November, apa dia lupa kalo dulu dia pernah nari-nari di atas kaligrafi Allah? Tuntut juga tuh orang-orang yang kayak gitu biar adil.

Makanya gak heran kalo gue menganggap hal ini memiliki multitujuan dan kepentingan (if you know what i mean)... apa lagi kalo bukan politik.

Gue bukan pro Ahok, jangan salah sangka. Sekali lagi tekenin, gak berada pada pihak mana-mana. Ya gimana, soalnya kebanyakan orang Indonesia itu para penganut pendekatan silogisme, di mana kalo lo gak gini, berarti lo gitu, kalo bukan golongan kami, maka lo golongan mereka. Terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa memerhatikan variabel-variabel yang lain.

Gue orang Bekasi, dan kalo pun KTP gue Jakarta, gue juga belon tentu milih dia (dan mungkin emang gak akan milih dia juga). Dari situ gue cuman pengen ngomong bahwa yang jadi pusat perhatian atas masalah ini bukan si Ahok, dia bukan si tokoh utama, melainkan sikap SARA umat Muslim yang bikin gue sedih.

Gue rada gak seneng aja ngeliat aksi-aksi diskriminatif orang-orang yang memarjinalkan kaum minoritas. Gue sangat gak berkenan ketika ada Muslim yang teriak kafir seolah-olah keberadaan para non Muslim ini adalah aib. Bagi gue sebutan kafir itu setara dengan gaijin atau nigger yang interpretasinya bisa dikatakan sebagai orang non golongan.

Bayangin kalo lo berada di negara minoritas muslim, kemudian lo ditolak oleh masyarakat, seakan-akan sikap lo memilih kayakinan adalah hal yang salah. Lo marah ketika di Barat ada orang ngedemo komunitas Muslim? Ngedemo Masjid? Ya kurang lebih perasaan non-Muslim di negara kita sama ketika di lampu merah mereka ngeliat sekumpulan orang ngebentangin spanduk bertuliskan "Jangan pilih pemimpin kafir, blablabla kafir". Asas Bhinneka Tunggal Ika udah mati.

Gue pikir kalo mau menasihati sesama saudara muslim, harusnya anjuran seperti itu dilakukan di komunitasnya, jangan di tempat publik di mana orang-orang umum berseliweran di situ. Tersinggung gak sih orang-orang non muslim yang ngeliat orang ngebentangin spanduk seperti itu sambil teriak-teriak kafir?

Bertabayyun, bukannya mereka suka make istilah itu? Kenapa sekarang jadi gampang banget diprovokasi. Katanya nuntut minta maaf, karena kalo gak minta maaf nanti doi harus diproses hukum. Lah ini orangnya udah minta maaf, tapi masih aje. Emangnya Nabi ngajarin untuk bales dendam? Nabi aja masih mau maafin orang kafir yang ngelemparin Beliau dengan kotoran.

Sebelon gue akhirin, jangan bilang kalo gue udah gak peka sama agama gue sendiri. Gue marah banget ketika ada pilem yang menghujat Islam, gue marah banget sama para karikatur Paris yang ngegambar dan ngelecehin Nabi Muhammad SAW. Gue berenti maen 9Gag karena dulu sempet rame ama postingan-postingan provokatif yang ngejatohin nama Islam saat jamannya terorisme Paris (dan gak menutup kejadian yang serupa di masa depan karena sistem filterisasi postingannya yang terlalu lemah, ya makanya gue gak maen lagi). Di IG gue banyak banget ngereport dan ngeblokir akun-akun yang ngelecehin Islam, begitu juga dengan Yutup saat ngeliat komen-komen kurang ajar yang ngatain Islam. Dan masih banyak lagi contoh lainnya dari perasaan gue yang marah ketika ada penistaan (yang bener-bener penistaan) agama Islam. Kadang suka terbesit dalam pikiran bahwa gue pengen nyantet orang-orang yang (emang bener-bener) ngehina Islam hehe.

Intinya gue masih memiliki sensitifitas terhadap agama, tapi bedanya masih berusaha mikir kritis dan menyeleksi hal-hal tersebut dalam penempatan posisi gue.

Jadi ya... gitu.

Monday, October 24, 2016

Tentang Etos Kerja

Ketika kita baru memasuki suatu perusahaan, pasti ada suatu beban yang kita pikul. Sebenernya mungkin bahasa tepatnya bukan beban kali ya, tapi tuntutan berupa kesadaran diri bahwa kita harus bisa merealisasikan segala omongan manis yang disuguhkan saat interview kerja yang membuat kita diterima di perusahaan tersebut. Dengan kata lain, kita harus bisa membuktikan janji saat interview dengan sebuah etos kerja yang baik.

Ya, layaknya iklan komersil yang ada di tipi-tipi, segala kata-kata yang 'menjual' diri kita kepada HRD memang harus dibuktikan. Kita adalah si produk yang memberikan janji manis kepada audien(s), yaitu perusahaan. Setelah mereka mau membeli produk kita atau dengan analogi aslinya memperkerjakan kita, kita harus bisa menjawab ekspektasi mereka yang ditumbuhkan oleh janji manis kita melalui kualitas kerja yang baik. Ini adalah tanggung jawab kita yang harus diemban dalam kesadaran diri sebagai karyawan.

Kesadaran itu ada pada diri gue saat pertama kali kerja sebagai Account Executive atau AE di sebuah marcomm agency. Gue begitu fokus untuk memberikan yang terbaik dari diri ini kepada perusahaan. Kalo perlu, gue akan double job di perusahaan tersebut, yaitu sebagai AE dan sebagai CEO. Tapi naas setelah gue menawarkan diri menjadi CEO ke bos gue, gue malah dilempar dari lantai 2.

Awal-awal masuk kerja, gue begitu rajin, sampe-sampe gue dateng 1 jam sebelum jam masuk kerja pada jam setengah 9 pagi. Dateng ke klien pun begitu, gue selalu sampe 1 jam lebih awal di tepat ketemuan. Bukannya sok jadi karyawan rajin, tapi saat itu gue serasa dihantui oleh tuntutan pribadi bahwa gue gak boleh terjun ke jurang kesalahan dan mempermalukan diri gue sendiri, karena gue benci kecemplung dalam sebuah masalah.

Untuk sebagian karyawan baru, ada masa-masa ketika deskripsi dan tanggung jawab pekerjaan yang dikasih perusahaan masih agak abstrak. Jadi setelah dijelasin di awal mengenai tugas dan tanggung jawab kita, kebanyakan perusahaan langsung ngelepas gitu aja pas proses kerja berlangsung. Maksudnya kebanyakan ketika kita baru direkrut, kita dituntut untuk 'membawa' diri kita sendiri alias mandiri dalam masuk ritme kerja tim yang udah ada. Dan di satu sisi, kita sebagai karyawan baru mengalami fase 'kebutaan informasi' alias gak tau apa-apa ketika masuk ke lingkungan baru.

Namun karena rasa segan diri yang udah terlalu tinggi, gue memutuskan agar gak tinggal diam di situasi seperti itu. Gue aktif nanya, minta kerjaan, dan bahkan inisiatif mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sebenernya gak disuruh. Selain ngejerjain pekerjaan AE, gue juga ngurus administrasi lah, bikin time schedule lah, nulis artikel website yang notabenenya udah setahun gak diupdate lah, aktualisasiin akun-akun medsos perusahaan lah, bikin creative brief lah, bikin video script lah, bikin konten tulisan buat klien lah, bikin konten company profile perusahaan internal & klien lah, bahkan gue juga ngedesain konten visual buat klien. Kadang gue juga sengaja 'jualan' perusaaan dengan ngontak beberapa kenalan untuk diajak kerja sama. Padahal fokus tanggung jawab kerja gue sebenernya bukan di marketing, melainkan di client services.

Untuk pekerjaan AE sendiri BAP dan client brief selalu gue buat rapi, detil, dan tepat waktu. Bahkan di dalam client brief, gue gak hanya menyantumkan galian informasi umum tentang klien kayak profil perusahaan, ragam produk, objectives, dll, tapi juga udah nyerempet ke ranah analisis strategi dan usulan ide yang semata-mata sengaja gue tambahin konten briefnya untuk memudahkan pekerjaan Strategic Planner. Kebetulan gue punya field of knowledge & experience di bidang itu untuk menopang kontribusi analisis dan ide stratetgi pemasaran jika melihat pada latar belakang pendidikan gue sebagai lulusan marcomm dan pengalaman kerja sebagai Stratplan. Alhamdulillah salah satu usulan gue diterima gak hanya oleh internal team, tapi juga klien, dan itu dijadikan strategi yang diimplementasikan secara berkelanjutan di program-program klien tersebut.

Kadang untuk beberapa kesempatan, si bos juga sempat memercayakan gue untuk nanganin beberapa pekerjaan Stratplan. Mungkin dari hal-hal tersebut,si bos ngeliat potensi yang lain dari diri gue, so, beberapa bulan kemudian, gue dipindah ke posisi Stratplan.

Jadi, baru masuk kerja, gue udah 'sengaja' menyibukan diri dengan megang 6 pekerjaan, yaitu AE, Marketing, Stratplan, Copywriter, Creative dan Digital Marketing Executive. Tentunya 5 pekerjaan terakhir gue lakukan atas dasar inisiatif sendiri aka gak ada yang nyuruh (btw beberapa bulan setelahnya, gue emang dipercaya nanganin proyek digital marketing klien, jadi gue gak hanya ngurus copywriting, creative, dan digital marketing internal doang, tapi juga si klien ini). Yah intinya gue udah berusaha ngasih sesuatu yang lebih deh ke perusahaan. Makanya gue rada 'kesentil' ketika ada anak baru yang keberatan megang 2 job sekaligus, yaitu client services dan marketing (padahal dua-duanya itu ya masih ranah AE juga). Like, seriously... lenje amat ente :)))

Gue bukan bermaksud jadi gila kerja sih. Jujur gue bukan tipe orang workaholic yang punya kecintaan sama yang namanya pekerjaan, karena itu gak sesuai dengan sifat alami gue hehe. Tapi ya namanya karayawan baru yang sekali lagi, rasa segannya terlalu tinggi, jadinya gue kayak gak bisa ngebiarin diri gue ngelalui waktu kosong semenit pun, bahkan ketika pekerjaan gue udah selesai. Jadi kalo kerjaan udah selese, ya gue nyari pekerjaan lain agar bisa selalu produktif. Bahkan ketika gue sakit pun, di rumah gue tetep kerja, karena ya itu, gue gak enak sama perusahaan.

Di kantor pun gue juga jadi terkesan kaku. Maksudnya kaku, gue jadi seolah membuat formal diri gue sendiri di lingkungan kantor yang dalam bayangan gue hanya ada 3 kata, yaitu kerja, kerja, dan kerja. Temen kantor ampe bilang, "Mas, kalo mau dengerin lagu make headset, dengerin aja..." Semenjak saat itulah gue jadi mengendur, karena ya, emang kerja model kayak begini berisiko menciptakan tingkat stres yang tinggi. Biar gak terlalu terkuras energinya secara signifikan, kita emang butuh selingan.

Ya, rasa segan yang terbangun sendiri di dalam diri emang udah membuat gue jadi kayak robot. Masuk sejam lebih awal, ishoma waktu  dzuhur gue isi dengan solat dan makan, abis itu balik lagi ke kantor buat lanjutin kerja. Pas ashar, gue cuman keluar ruangan buat solat, abis itu kerja lagi. Tiap hari kayak gitu. Padahal sebenernya rekan kerja gue yang laen gak 'die hard' kayak begitu. Mereka nyantai aja dalam bekerja. Makanya setelah dikasih tau ama temen buat agak nyantai dikit dan ngeliat lingkungan kerja gue yang emang sebenernya nyantai juga, maka gue pun mencoba untuk mengendurkan diri, tanpa tentunya, melepaskan prinsip kerja yang gue miliki.

Dan emang, kerja berjam-jam seharian dengan posisi duduk terus di depan monitor berdampak gak baek bagi kesehatan tubuh, ntar tau-tau sakit panas aja. Coba aja duduk terus di depan monitor laptop pas kantor lagi kebakaran, pasti ntar sakit panas. Maka dari itulah tiap beberapa menit, gue bangkit dari tempat duduk buat stretching. Tangan gue gue regangin ke samping, kaki gue rentangin ke depan, leher gue puter ke belakang, gue koma 3 hari.

Pas jam istirahat pun gue sengaja jalan kaki buat nyari makan. Pokoknya gue usahain agar ni badan semua bisa gerak di sela-sela waktu yang ada. Makanya kadang gue sengaja nyari makan sambil koprol. Yap itu semua gue lakuin untuk meluweskan diri.

Beberapa bulan selanjutnya ketika gue udah megang jabatan baru sebagai Strategic Planner, perusahaan ngerekrut orang baru untuk menempatai posisi Account Executive, dan itu membuat gue sedikit kaget... karena ada petasan nyempil di sempak gue.

Enggak.

Gue sedikit kaget karena ni orang bener-bener kebalikannya dari gue. Gak, maksudnya kebalikannya dari gue bukan berarti dia make sempak di pala dan bh di selangkangan. Tunggu, gue gak pernah make bh di pala. Ah udahlah...

Maksudnya adalah ketika dulu saat masih berstatus karyawan baru gue begitu segan hingga terlalu fokus kerja, orang baru ini justru sebaliknya. Gue begitu kaget ketika pas awal-awal kerja dia dengan antengnya seolah gak berdosa dateng kantor jam setengah 10. Besokannya juga gitu, besokannya juga gitu. Bahkan pernah dia dateng ke kantor bada dzhur dengan pembawaan yang polos kayak gak ada apa-apa. Padahal jarak dari tempat tinggal dia ke kantor itu cuman 15 menit waktu perjalanan. Bandingin dengan gue yang rumahnya di Bekasi, tapi masih sempetin buat dateng sejam lebih awal. Yah, gue sebagai senior langsung berusaha negor tentang kedisiplinan dia yang gak ada tempatnya. Dia pun kena tegor juga oleh si bos.

Setelah itu pun sikap kerjanya bener-bener membuat gue terpaku takjub. Kebetulan saat itu emang ada paku tiga biji nancep di pala gue. Gue musti berenti salto di tempat matrial.

Gimana ya, gue takjub karena ni bocah dengan entengnya maen, buka yutup, dan ngerjain hal-hal di luar pekerjaan di jam kantor. Bahkan pas jam kantor doi anteng banget tidur siang dengan gelar kasur di ruangan kerja. Beberapa kali pun dia malah keluyuran gak jelas pas jam kerja.

Yang paling ngeselin adalah ketika lagi briefing dengan klien. Sebelon melanjut, gue kasih gambaran singkat tentang pekerjaan AE. Jadi secara garis besar itu AE berfungsi untuk menghubungkan klien dengan tim internal, termasuk itu menampung segala bentuk informasi yang disampaikan klien untuk kenudian dialirkan kembali ke tim. Makanya fungsi notulensi di sini menjadi penting bagi mereka, karena dari situ, mereka bisa buat BAP dan client brief.

Nah, lanjut dari situ, gue yang lagi nyatet poin-poin pada proses dikusi dengan klien tetiba mendapati satu buah kalimat sederhana tapi ngena. Jadi, di tengah proses nyatet, dia bilang ke gue sambil nunjuk make telunjuk,

"Tuh, tuh, catet."

Kesalahan dia ada 2:
1. Dia adalah AE, yang seharusnya menotulensi jalanannya proses briefing adalah dia, dan dia gak melakukan hal tersebut.
2. Dia dengan kurang ajar udah nyuruh seniornya untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh dia, padahal waktu itu gue juga lagi nyatet.

Strategic Planner atau Stratplan harus bersinergi dengan AE dalam urusan pekerjaan. Salah satu contoh ketika kita sedang meeting dengan klien, Stratplan musti nyatet poin-poin diskusi yang berkenaan dengan informasi yang dibutuhkan untuk perancangan strategi marcomm klien.

Kenapa musti Stratplan musti nyatet? Karena proses nyatet membantunya dalam menstimulus otak agar lebih mudah dalam menangkap, menyimpan, dan memahami insight klien. Gampangnya efektivitas proses belajar akan lebih tinggi jika dilakukan tidak hanya dengan mendengar atau membaca aja, tapi juga mencatat. Jaman kuliah dulu,selain 3 hal tersebut, gue juga lakukan simulasi presentasi biar materi bisa lebih nempel di otak. Jadi gue belajar gak cuman membaca, mendengar, atau menghapal doang, tapi juga mencatat, mengucapkan, dan mengartikulasikan materi dalam bentuk bahasa nonverbal. Ya intinya, semakin kita perluas indera yang dimanfaatkan untuk kegiatan belajar, semakin nempel pula tu materi yang kita pelajari. Ibarat benda, cara-cara belajar tersebut udah kayak tali yang menambah ikatan terhadap ilmu agar tidak mudah lepas dari otak. Makanya gue nyatet, biar catatan tersebut bisa jadi referensi dalam bekerja.

Idealnya, proses briefing dilalui tidak hanya dengan mendengar, berbicara (aktif nanya/merespon klien), atau mencatat dalam bentuk tulisan doang, tapi juga merekam jalannya proses diskusi agar dapat menjadi bukti otentik suatu pertemuan. Jadi tu rekaman audio yang nantinya diterjemahkan ke dalam bentuk transkrip bisa menjadi referensi objektif dari suatu pertemuan rapat. Jaman gue jadi AE, gue malah ampe ngerekam video. Jadi dari acara briefing, gue punya 3 bukti rapat, yaitu draft catatan, foto, dan video.

Pertanyaannya emangnya gak cukup dengan BAP? BAP itu adalah tahap selanjutnya setelah proses pencatatan kasar. Dengan kata lain BAP dibuat dari proses ricek, pengolahan, dan seleksi informasi dari referensi-referensi tersebut. Dari BAP, AE bisa bikin client brief, dan BAP-nya sendiri pun bisa disampaikan langsung ke internal sebagai sumber informasi meeting bagi tim.

Ya pasti beda lah antara BAP yang dibuat spontan dengan BAP yang dibuat berdasarkan sumber-sumber otentik itu. Apalagi interpretasi kita dalam menerjemahkan proses diskusi ke bentuk BAP sangat berpotensi menciptakan informasi yang subjektif, karena kita nulis dengan pemahaman kita sendiri. Maka dari itu back up data berupa catatan kasar dan transkrip audio menjadi sangat penting dalam mendukung validitas informasi yang kita tulis. Kan data-data tersebut bisa dijadikan pegangan juga untuk proses konfirmasi informasi dengan klien.

Waktu gue jadi AE, Stratplan gue juga ikutan nyatet poin-poin rapat berdasarkan pemahaman dia. Setelah proses rapat dilakukan, barulah kita berdua mencocokan poin-poin diskusi agar ada sinkronisasi data. Dan sebagai tambahan, idealnya informasi yang dicatat oleh si AE ini harus lebih lengkap dari sekedar catatan kasar si Stratplan, karena bisa dibilang dia ini sumber informasi kedua setelah klien, jadi tim internal sangat bergantung ama doi.

Nah disitulah poinnya dari kegiatan mencatat. Jangan ketika gue sebagai Stratplan lagi nyatet informasi dari proses diskusi, si AE malah leha-leha ngegabut aja. Dan kurang ajarnya, dia malah nyuruh gue untuk ngerjain pekerjaan yang seharusnya dia lakukan dari tadi. Etika dia di mana? Ya setelah itu langsung gue tegor aja.

Gue bukan orang yang menganut paham senioritas. In fact, gue gak suka banget sama hal tersebut. Tapi kita sebagai junior juga jangan mengenyampingkan yang namanya etika. Masih jadi karyawan baru aja udah sok bossy, padahal kerjaan yang dia suruh adalah tanggung jawab dia.

Tapi yaudahlah, setelah itu gue masih berusaha sabar dan menyesuaikan diri dalam menuntun dia. Gue negor dia dalam konteks profesionalitas kerja, bukan personal, yah walaupun kadang sikapnya suka bikin gregetan sih hehe.

Yah intinya, etos kerja yang baik itu perlu dipelihara. Gue melihara etos kerja gue bukan untuk pencitraan, karena bahkan dari jaman sekolah dan kuliah pun gue paling males caper-caperan dengan guru atau dosen. Orang-orang mungkin bisa bilang kalo gue cuman berusaha mengalir berjalan di trek yang seharusnya gue jalanin. Dengan kata lain ya emang esensi dari seorang pekerja ya kayak gitu, yaitu bekerja dengan baik.

Sekali lagi, gue bukannya kayak yang sok pengen jadi karyawan teladan, karena persetan lah dengan itu, gue juga bisa bete kalo dikasih pekerjaan yang gak manusiawi, contohnya kayak netein bayi gorila. Maksud gue di atas saat ngegambarin budaya kerja gue tuh bukan kayak yang terkesan sok pamer, tapi lebih pengen memperlihatkan kontradiksi dengan subjek yang gue bahas di sini.

Yang gue lakukan itu sama sekali gak istimewa, karena pastinya kalian akan ngelakukan hal yang sama di perusahaannya masing-masing. Gue yakin saat kalian berposisi sebagai karyawan baru, kalian pasti juga punya rasa segan yang menuntut diri masing-masing untuk kerja serius. Maksudnya kan gak enak juga kalo kita baru masuk tau-tau udah udah bikin kesalahan, udah kena tegor, udah kena peringatan. Ya kita sebagai orang baru yang masih fresh harusnya bisa lebih semangat dong dalam bekerja.

Inti curhatan di tulisan ini adalah gue gondok aja ngeliat orang baru yang bukannya antusias dalam ngebuktiin alesan kenapa dia pantes diterima di perusahaan ini, tapi malah memperlihatkan attitude dan work ethic yang di bawah standar. Sekarang gini, misal pas jaman kuliah/sekolah dalam suatu perihal tugas kelompok, ada salah satu anggota yang songong dan nyantai maksimal, kita sebagai rekan kesel gak? Ya apalagi dalam dunia profesional kan? Kebayang kalo misalnya sikap gue sebagai karyawan baru kayak gitu, masuk ke perusahaan baru, belon ada sebulan, terus di kantor gue udah semena-mena. Bayangin kalo gue baru-baru udah ngomong kalimat "Heh, tuh, tuh, kerjain" ke senior. Mending kalo gue cuman ditegor, mungkin gue bakalan didamprat atau diteken abis-abisan kali.

Ya jadi gitu ajalah curhatan kali ini. Sebenernya yang namanya unek-unek itu banyak baaangeet, cuman ya... untuk kali ini, cukup sampai di sini hehe.

Eh, btw mampir doong ke blog gue yang baru, yaitu "Dear Diare". Ni blog isinya komedi satir bergaya personal literature. Ni linknya di mari. Yang punya blog, boleh loh difollow hehe, tar gue follow balik deeh haha.

Monday, August 22, 2016

Blog Baru (Lagi)

Aloooo...

Kemaren kan ceritanya gue bikin blog baru gitu ya...

Nah, sekarang gue bikin blog baru lagi nih...

Gue bukan lagi keracunan nikotin blog. Jadi, gini, untuk blog yang kemaren dishare itu (My Insight) isinya tentang kesoktauan gue mengenai dunia (yaelah). Tulisannya baru 1 sih, tapi gue nantinya akan mengisi blog tersebut dengan pembahasan yang lebih serius, mau itu tentang profesi, pengetahuan umum, filosofi hidup, atau mungkin konspirasi! yah pokoknya semua itu dibikin berdasarkan insight gue aja... kan sesuai dengan nama blognya yak... ngeheh... dan pastinya sih tata bahasanya juga lebih baku, kan disesuaikan dengan tema pembahasannya dong... hueheh...

Naaaaah.... setelah blog serius yang kemaren gue buat itu, gue bikin blog baru lagi nih ceritanyaa... Isinya pure komedi... Sebenernya SNSD itu juga pada dasarnya blog komedi sih, cuman isinya kan lebih random ya... Ada komedi lah, ada musik lah, ada bola lah, ada curcolan gue lah, beneran gak beraturan deh!

Berkenaan dengan itu, gue pengin bikin satu wadah yang kontennya pure komedi, jadi isinya lebih konsisten.

Blog ini namanya "Dear, Diare". Sebenernya dari kemaren gue udah beberapa kali ngeshare tulisan-tulisan gue di facebook dan twitter sih, jadi mungkin beberapa dari kalian udah tau kali yak.

Blog ini gayanya tetep santai dengan rangka personal literature. Jadi gue akan sharing pengalaman pribadi yang dikemas dengan gaya komedi. Beberapa ide cerita ada yang gue ambil dari blog SNSD, dan beberapanya lagi pure orisinil. Tapi walaupun tema ceritanya gue ambil dari SNSD, tulisannya tetep akan gue rombak menjadi tulisan yang bener-bener baru. Labelnya (segmen tulisan) secara garis besar ada "school story", "college story", ada "after college story", dan ada "random things". Ohiya gue juga akan membawa kembali "om kempot" dari blog SNSD ke blog yang baru ini. Walaupun masih rencana, tapi intinya segmen-segmen tulisan tersebut akan muncul di blog ini

Jadi temen-temen, boleh banget loh buat mampir ke blog baru ini. Kalo ada yang punya blog, monggo banget difollow blog-blog gue ini (terutama yang "Dear, Diare", karena gue akan lebih aktif nulis di sana daripada di "My Insight"), nanti biar gue follback blog kalian. Jadi yahhh.... begichu.

Mari jadi sahabat blogger...ciailah...


Monday, August 15, 2016

Blog Baru

Kemaren gue baru bikin blog baru gitu yang isinya lebih serius dari blog kampung ini.  Yang lagi ada waktu, monggo mampir di mari.

Saturday, July 23, 2016

Ironi

Ada banyak pemahaman yang berbeda mengenai tata cara ibadah di masing-masing orang. Ya gue rasa ini wajar, karena dari ribuan tahun lamanya agama ini berkembang, terdapat banyak penyampaian ajaran oleh imam yang berbeda-beda dengan interpretasi yang bervariasi pula. Masing-masing merasa penafsiran dan pemahamannya lah yang paling benar.

Ya gue gak akan membahas tentang kebenaran masing-masing penafsiran tersebut, karena gue sadar sendiri lah ilmu gue masih sangat cetek heheh...

Gue cuman pengen sedikit cerita, pastinya di lingkungan sekitar kita, selalu ada orang yang berperan sebagai "korektor" ketika menghadapi situasi pengaplikasian ibadah atau rukun Islam secara umum. Sebenernya itu bagus, karena kita dikasih tau agar kita tahu yang benar, ya kecuali kalo mereka yang ngasi tau ternyata pemahamannya salah heheh...

Gue cukup open sama hal yang seperti itu, walaupun kadang jengkel juga kalo misalnya gue dikomentarin sampai ke gerak-gerik terkecil gue... like... gue berasa idup gue kayak simulasi Indonesian Idol di mana segala bentuk aksi gue selalu menjadi bahan kritik bagi para korektor tersebut. Misalnya kalo gue dengerin musik metal dibilangnya fasiq lah, foto satu frame dengan cewek (walaupun ikhwan dan akhwatnya berjumlah banyak serta masing-masing terpisah shaf) dibilangnya haram lah, dsb. 

Itu cuman salah satunya...
Hal lain yang bikin jengkel? Adalah ketika lo dikomenin macem-macem sama orang yang bahkan gak paham sama hal tersebut, alias pemahamannya salah.

Jadi ini adalah cerita yang terjadi baru-baru ini. Ceritanya waktu itu gue maen ke rumah temen. Gue ama dia emang udah jarang banget ketemu. Untuk itulah gue inisiatif mau bersilaturahmi ke rumahnya. Acara ketemuan berlangsung standar. Ya kita ngobrolin kenangan jaman dulu, ketawa-ketiwi, minumin oli samping, ngemilin nyamuk. Standar.

Gak kerasa waktu berlangsung cepat, maghrib pun datang pada waktunya. Saat itulah gue berencana untuk solat. Nah, di sinilah inti ceritanya. Jadi ketika gue solat, dia ngomenin macem-macem tentang tata cara ibadah gue. Ya kalo pun gue salah, sebenernya gue akan open terhadap koreksian dia. Masalahnya di sini dialah yang kurang paham. Tadinya gue mau nunjukin sumber pegangan untuk ngebacking pendirian gue tentang tata cara yang gue lakukan, sebelom akhirnya dia menutup situasi tersebut dengan kata,"Iyee, Dhaam... percaya guee..."

Yang bikin lucu adalah dia udah komenin macem-macem tentang tata cara ibadah gue, padahal dia sendiri kagak solat, like what...

Sunday, June 26, 2016

Bangunin Orang Sahur Ada Etikanya, Loh...

Saran gue sebelom baca tulisan ini: jangan baca setengah-setengah dan jangan ambil informasinya separo-separo biar gak asal judging :)

Ok... Here goes...

Emak gue pernah bilang kalo salah satu enaknya tinggal di Indonesia adalah banyaknya jumlah masjid yang ada di sini. Di sini gak susah nyari masjid, di mana-mana ada, jadi gak perlu repot-repot nyari suara adzan, setiap 5 waktu kumandangnya selalu terdengar. 

Gue sendiri pun sependapat dengan pernyataan emak. Salah satu keuntungan punya rumah deket masjid adalah kita gak perlu pergi jauh-jauh buat jumatan, begitu juga dengan solat-solat hari raya atau solat 5 waktu.

Cuman namanya pros, pasti ada cons. 


Apa itu cons-nya...?

Well, sebenernya cons-nya sih cuman 1... berarti harusnya jadi 'con' aja ya?

Ya, 1 flaw yang pengen gue bahas di sini adalah mengenai penggunaan toa masjid.

Gak... gue gak komplain masalah volume suara adzan dan ngaji yang terlalu kenceng dari masjid kok, daripada disangka penistaan agama juga kan (hehe). Lagian secara pribadi, gue sendiri gak keganggu kok sama suara adzan dan ngaji yang disiarkan dari toa suatu masjid. Malahan gue menikmati lantunan suara ngaji di pagi hari ketika kebetulan insom gue lagi menyerang, ya asal penempatan waktu dan volume suaranya sesuai aja.


Yang menjadi masalah bagi gue adalah mengenai hal yang biasanya terjadi di bulan puasa, yaitu kegiatan ngebangunin orang sahur.


Yak, langsung to the point aja, gue berpendapat kalo penggunaan toa masjid untuk ngebangunin orang sahur itu (pada umumnya) belum dilakukan dengan cara yang cukup etis dan berasaskan toleransi.


Gue tau, gak semua pengurus masjid kayak begitu.


Ya, kita ambil contoh masjid yang ada di kompleks perumahan. Apakah mereka tahu tentang profil orang-orang yang tinggal di sekitar masjid? Tahukah mereka tentang latar belakang mereka? Tentang kondisi mereka saat itu beserta dengan aktivitas hariannya? Di tengah gelombang suara yang disiarkan toa masjid untuk ngebangunin orang sahur pada dini hari, ada juga loh orang-orang yang sebenernya butuh waktu istirahat.


Let's say...

Orang tua yang lagi sakit parah, ibu-ibu hamil yang emang lagi gak puasa, bayi yang butuh istirahat di malam hari, atau pekerja yang malemnya abis lembur dan paginya musti ngantor lagi. Khusus untuk pekerja, kadang mereka cuman mau bangun sahur untuk nyiapin makanan seadanya, makan secukupnya, dan kembali tidur. Paling enggak mereka cuman menghabiskan waktu sekitaran 15 menit untuk seluruh proses sahur. Bagi para pekerja tersebut, setiap menit yang dihabiskan untuk istirahat itu sangat berarti dalam mengembalikan stamina mereka buat kembali bekerja di pagi harinya.

Atau... pernah kepikiran gak sih kalo di sekitar masjid tersebut ada orang non muslim? Pernah memperhatikan mereka? Tetangga gue ada non muslim. Mereka adalah seorang kakek-kakek dan nenek-nenek. Bertahun-tahun musti melalui gelombang toa masjid ini karena rumahnya yang sangat dekat dengan lokasi masjid. Si nenek pernah mengakui ke emak gue kalo doi sebenernya merasa terganggu, cuman ya gimana, dia terlalu takut untuk mengungkapkannya ke orang-orang yang bersangkutan. Ya, you know lah, sebagai orang minoritas, mereka pasti punya perasaan inferior dalam membawa isu lintas agama seperti ini. 


Ya jangankan mereka, kita sebagai sesama muslim pun kalo bermaksud mengutarakan pendapatnya yang kontradiktif, pasti ujung-ujungnya bakal kena getahnya sendiri. Tau kasus kakek tua di Aceh yang dipojokan sama orang-orang karena meminta volume toa masjid agar dikecilkan? Yang belum tau, bisa baca full di mari.


Sebenernya tetangga gue pun lagi sakit juga. Kalo gak salah kemaren abis dioperasi karena penyakit diabetesnya. Dan bicara tentang sakit, emak gue sendiri lagi juga sakit pada telinganya, ada dengung di telinga yang menganggu pendengarannya. Nah, apakah pengurus masjid yang menggunakan toa dengan cara berlebihan tau tentang kondisi orang-orang ini? Hmmm...

Kita tinggal di masyarakat yang heterogen, ada banyak kepentingan yang berbeda di dalamnya, which is hal tersebut mengarahkan kita pada bentuk kesadaran akan penyesuaian diri yang berbeda-beda pula, bukannya memaksa kaum minoritas untuk menyesuaikan diri terhadap budaya kelompok mayoritas. Kan dari SD kita udah diajarkan untuk saling bertoleransi. Maksudnya lucu, dari dulu di Indonesia yang sering gue denger adalah orang muslim yang selalu meminta sikap hormat dari orang-orang yang berada di luar golongannya. Kita sering menuntut sikap kaum non muslim untuk menghormati orang yang lagi berpuasa agar gak makan di depan kita, agar menutup warung makannya di siang hari, tapi apakah orang muslimnya sendiri memperhatikan mereka ketika menggunakan toa masjid dengan cara yang minim muatan toleransi? Setiap dikasih tau, selalu berkilah... dikata menistakan agama lah, dikata inilah, dikata itulah... hehe...


Gue di sini gak bermaksud membuat tulisan provokatif berbau sara. Gue cuman pengen ngajak masyarakat untuk saling berintrospeksi diri aja mengenai masalah toleransi antarumat beragama, dan ini gak hanya berlaku pada orang muslim aja loh ya... hehe... (mengingat pengalaman hidup di mana waktu kecil pernah diejek sama segerombolan bocah yang gak berpuasa ketika gue lagi berpuasa di bulan puasa... yo dawg...)


Sebelon gue dicap liberal ato apalah, gue mau memberikan kejelasan bahwa gue bukan orang yang menganut prinsip hidup seperti itu. Ini cuman klarifikasi awal aja terhadap tipologi masyarakat kita yang emang sukar diprediksi dengan segala manuver prejudicenya.


Lanjut ke masalah penggunaan toa masjid untuk ngebangunin orang sahur. Gue gak minta bahwa kegiatan rutin bangunin orang sahur selama bulan Ramadhan ditiadakan. Gue cuman menawarkan semacam jalan tengah untuk kebaikan semua pihak (ya siapa tau aja kan yang baca tulisan ada yang merupakan pengurus masjid).


Jadi di sini gue menulis beberapa masukan untuk kegiatan ngebangunin orang sahur dari mulai timing sampai tata cara penggunaan toa masjid. Kayak gimana bentuknya? Kita mulai dari masalah timing atau pemilihan waktu. Jujur, gue pribadi merasa agak terganggu ama kegiatan ngebangunin orang sahur yang dilakukan dengan memakai toa masjid dari jam setengah 3 secara nontsop selama 1 jam ke depan. Kenapa gue merasa terganggu? Karena bahkan ketika gue udah bangun pun suara tersebut masih tersiar secara kencang. Maksudnya, gue bener-bener berasa kayak ditereakin orang tepat di telinga gue.


Seharusnya menurut gue, aktivitas ini diberikan masa interval, karena selain ini bisa memberikan waktu istirahat bagi telinga kita, interval ini juga bisa memberi waktu istirahat bagi suara/napas mereka. 


Win-win, toh?

Nah, untuk pembagian masa interval ini, gue memberikan beberapa opsi, yaitu:

1. Interval 15 Menit

Pengurus masjid bisa memulai aktivitas ngebangunin orang sahur dari jam setengah 3 selama kurang lebih 15 detik tiap 15 menit sampai jam setengah 4. Jadi kayak semacem dikasih jeda waktu gitu tiap 15 menit.

2. Interval 10 Menit

Ini juga bisa dijadikan alternatif pilihan. Teknisnya hampir sama dengan yang di atas, cuman bedanya aktivitas ini dimulai dari jam 3 dengan masa interval 10 menit di mana masing-masing titik interval diisi dengan 10 detik kegiatan tersebut.

3. Nonstop 15 Menit

Pilihan ini juga bisa dilakukan, tapi dengan catatan start yang dimulai dari 15 menit awal dari jam setengah 3, atau 15 menit terakhir sampai jam setengah 4. Gue pikir nyiapin makanan dari jam setengah 4 juga masih keburu lah buat bisa sahur. Nyiapin makanannya juga gak usah ribet-ribet banget kan kalo buat sahur mah, paling cuman 15 menit, makan pun palingan sekitar 10 menit, dan setelah itu pun orang juga masih punya waktu sekitar 30 menit lebih sampe waktu imsak.

Selain masalah timing, gue juga memberikan masukan soal penggunaan toa masjid. Menurut gue, toa masjid tersebut seharusnya bisa digunakan tidak dalam volume yang maksimal. Seriusan, pengurus masjid deket rumah gue itu menggunakan toa dengan volume yang super kenceng, bahkan lebih kenceng dari suara adzan dan ngaji. Gue bahkan kadang suka gak ngeh kalo udah masuk waktu maghrib lantaran suara adzan maghrib di masjid deket rumah yang terlalu kecil... udah pada kering kali tenggorokannya ya...

Gimana gak stres, udah volumenya dikencengin, orangnya pun ngebangunin dengan cara yang gak nyantai. Maksudnya kalo bangunin orang sahurnya dilakukan dengan cara yang biasa aja sih gue gak bakalan bereaksi seperti ini, lah ini pengurus masjid di deket rumah ngebanguninnya dengan tereak-tereak. Siapa yang gak emosi ketika ngedengerin orang tereak-tereak pake urat lewat toa masjid dengan volume maksimal? Lah itu orang mau bangunin orang sahur atau ngajakin ribut? Para marbotnya sih enak paginya bisa tidur atau istirahat, lah kita yang pagi-pagi musti berangkat kerja lagi?

Gue sih mendingan tradisi bangunin orang sahur yang dilakukan oleh anak komplek dengan cara berkeliling sambil mukul pentungan dari pada dengan cara yang menggunakan toa masjid sebagai medium. Maksudnya seenggaknya kalo make cara keliling itu suaranya gak konstan (karena mereka kan berkeliling) dan gak sekeras toa masjid. Lagian efeknya terhadap orang-orang komplek juga lebih merata dan seimbang kan karena kegiatannya yang berkeliling.

Lagian, emangnya kita ini tinggal di jaman apa sih? Kita udah punya gadget bernama hape. Gue pikir rata-rata semua orang yang tinggal di komplek pasti punya hape lah, dan sekuno-kunonya hape mereka, pasti ada yang namanya fitur alarm. Poin gue adalah penggunaan media toa masjid itu adalah cara sekunder. Masing-masing orang kalo emang udah niat mau puasa pasti udah berinisiatif sendiri dalam mempersiapkan dirinya untuk sahur. Intinya adalah dikarenakan cara ngebangunin orang sahur ini bersifat sekunder, jadinya ya implementasinya seharusnya gak usah terlalu lebay. At least, hormatin orang-orang yang pada dini hari butuh waktu untuk istirahat. Kita boleh nyari pahala, tapi jangan dengan cara yang nyusahin orang lain.

Sebenernya gue gak cuman sekedar ngomong atau ngeluh di tulisan ini. Gue sempet pengen ngomong langsung ke pengurus masjid terkait untuk ngebahas masalah ini, cuman niat gue diurungkan oleh emak. Ya doi gak mau aja urusan kayak gini bisa jadi masalah yang lebih besar. 

Masalah yang jadi masalah.

Ya habis gimana, justru kalo gak dikomunikasiin, masalah ini tetep aja jadi masalah, gak ada jalan keluar dan gak ada pengertian bersama.

Sebenernya maksud gue mau ngomong tuh bukannya yang kesannya itu gue mau ngomel-ngomel. Justru gue mau berkomunikasi secara baik-baik. Gue ingin menyampaikan poin-poin di atas agar bisa menjadi jalan tengah untuk pengertian bersama. 

Ato gak, kalo gak bisa ngomong langsung, minimal gue bisa kasih pesan singkat (sms) aja deh, seenggaknya biar pesan gue dibaca ama doi. Untuk rencana tersebut, ya tanyalah gue nomor pengurus masjid tersebut ke emak, anggap aja namanya Pak Dudu.

"Bu, nomornya Pak Dudu tuh berapa sih? Pengen nyampein keluhan nih Idham," tanya gue.

"Lah, Pak Dudu kan udah meninggal."

"..."

Well.. ini agak canggung...

"Jadi yang dari kemarin itu make toa masjid siapa...?" tanya gue lagi.

"Ya itu anaknya," jawab si emak dengan kalem.

"Ooh..."

Gue baru inget kalo Pak Dudu itu udah meninggal sekitar 2 tahun yang lalu. Abisan suara bapak-anak hampir sama, sih... Yah, gue ulang aja deh doa gue 2 tahun lalu, semoga beliau bisa diberikan tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Aminnn.

Tapiii... 

Hal ini gak menghapus pemikiran gue tentang penggunaan toa masjid yang, ehm, sori, terkesan egosentris. Gue tetap ingin berkomunikasi dengan pengurus masjid belakang. 

Cuman... 

tetep... 

Emak gue ngelarang. Ya, soalnya kita sama-sama tau juga sih, kalo menyangkut urusan ini, tekadang orang-orang yang seperti itu gak cukup open-minded untuk bisa menerima pendapat orang luar. Ya coba aja liat dari kisah kakek-kakek Aceh yang gue share di atas. RT-nya aja gak berani. Pemerentah aja kalo ngehimbau malah balik diserang kan?

Jadinya ya... gimana ya... jadi gantung kan ending tulisan gue... emang dasarnya lagi males nulis aja sih... huh.







Saturday, June 4, 2016

Orang Gila di Jalanan

Tempo hari motor gue abis ditabrak ama motor orang. Ya singkat cerita motor gue yang lagi kalem tau-tau ban depannya ditabrak ama motor yang pas di pertigaan, doi motong jalan dengan ngebut.

Gambaran simpelnya kira-kira kayak begini:





Maksudnya bayangin aja, di pertigaan, kondisi jalan lagi macet, dan dia tanpa liat-liat malah belok dengan motong jalan dalam kecepatan ngebut. Padahal sebelom ditabrak, gue udah klaksonin panjang biar dia tau kalo di depannya ada motor nangkring dengan aduhai.

Gue hampir jatoh, tapi untungnya refleks gue cepet, jadi gue salto 15x, gelinding 10x, push up 5x, dan nonton dvd Tersayang 30 episode sebelom akhirnya mendarat dengan idung di atas tombak Aquaman. Enggak deng, jadinya dengan refleks cepet, kaki kanan gue masih sempet nopang beban motor sampe akhirnya gue gak jadi jatoh. Gak sia-sia gue ikutin senamnya Liza Natalia.

Karena kesel, ya gue bales aja tendang tu motor orang gila. Dan dia malah marah-marah. Dia malah nyalahin pak ogah yang lagi ngatur lalu lintas. Emangnya seberapa tergantungnya sih dia ama instruksi pak ogah? Emangnya pak ogah itu instruktur pribadi dia? Yang kalo misalnya dia mau bawa motor dengan bener, si pak ogah harus ngedampingin tu orang gila sampe tujuan? Maksudnya dia sendiri punya mata kan? Dia bisa liat kan kalo di depannya itu ada motor? Dia bisa mikir kan, kalo lagi di pertigaan dalam kondisi macet itu seharusnya jangan nikung dengan motong dalam kecepatan ngebut?

Ngeliat orang gila yang udah salah, malah ngomel lagi, akhirnya emosi gue kencing juga, eh kepancing juga. Gue pun langsung balik damprat doi sebelon akhirnya dipisahin ama si pak ogah.

Kebetulan si orang gila itu ngebonceng orang lain, dan orang tersebut cuman bisa diem. Mungkin dia tau kalo yang ngeboncengin dia itu emang salah karena udah nabrak motor orang, makanya dia gak ikutan panas.

Lain hari, lain cerita, gue juga pernah hampir bentrok dengan bapak-bapak pengendara motor yang memiliki 2 kesalahan:

1. Motong jalan dengan memanjat trotoar
2. Melawan arus di jalan verboden

Yang lebih ngeselin lagi adalah ketika gue klaksonin panjang, eh si bapak-bapak gila itu malah melototin gue, seolah-olah di sini gue lah pengguna jalan yang salah. Ya gue langsung kalap. Gue langsung marah-marah sambil tereak kenceng dengan kata-kata kotor.

"Dasar kotor, lu!!!"
Gitu.