Sunday, June 26, 2016

Bangunin Orang Sahur Ada Etikanya, Loh...

Saran gue sebelom baca tulisan ini: jangan baca setengah-setengah dan jangan ambil informasinya separo-separo biar gak asal judging :)

Ok... Here goes...

Emak gue pernah bilang kalo salah satu enaknya tinggal di Indonesia adalah banyaknya jumlah masjid yang ada di sini. Di sini gak susah nyari masjid, di mana-mana ada, jadi gak perlu repot-repot nyari suara adzan, setiap 5 waktu kumandangnya selalu terdengar. 

Gue sendiri pun sependapat dengan pernyataan emak. Salah satu keuntungan punya rumah deket masjid adalah kita gak perlu pergi jauh-jauh buat jumatan, begitu juga dengan solat-solat hari raya atau solat 5 waktu.

Cuman namanya pros, pasti ada cons. 


Apa itu cons-nya...?

Well, sebenernya cons-nya sih cuman 1... berarti harusnya jadi 'con' aja ya?

Ya, 1 flaw yang pengen gue bahas di sini adalah mengenai penggunaan toa masjid.

Gak... gue gak komplain masalah volume suara adzan dan ngaji yang terlalu kenceng dari masjid kok, daripada disangka penistaan agama juga kan (hehe). Lagian secara pribadi, gue sendiri gak keganggu kok sama suara adzan dan ngaji yang disiarkan dari toa suatu masjid. Malahan gue menikmati lantunan suara ngaji di pagi hari ketika kebetulan insom gue lagi menyerang, ya asal penempatan waktu dan volume suaranya sesuai aja.


Yang menjadi masalah bagi gue adalah mengenai hal yang biasanya terjadi di bulan puasa, yaitu kegiatan ngebangunin orang sahur.


Yak, langsung to the point aja, gue berpendapat kalo penggunaan toa masjid untuk ngebangunin orang sahur itu (pada umumnya) belum dilakukan dengan cara yang cukup etis dan berasaskan toleransi.


Gue tau, gak semua pengurus masjid kayak begitu.


Ya, kita ambil contoh masjid yang ada di kompleks perumahan. Apakah mereka tahu tentang profil orang-orang yang tinggal di sekitar masjid? Tahukah mereka tentang latar belakang mereka? Tentang kondisi mereka saat itu beserta dengan aktivitas hariannya? Di tengah gelombang suara yang disiarkan toa masjid untuk ngebangunin orang sahur pada dini hari, ada juga loh orang-orang yang sebenernya butuh waktu istirahat.


Let's say...

Orang tua yang lagi sakit parah, ibu-ibu hamil yang emang lagi gak puasa, bayi yang butuh istirahat di malam hari, atau pekerja yang malemnya abis lembur dan paginya musti ngantor lagi. Khusus untuk pekerja, kadang mereka cuman mau bangun sahur untuk nyiapin makanan seadanya, makan secukupnya, dan kembali tidur. Paling enggak mereka cuman menghabiskan waktu sekitaran 15 menit untuk seluruh proses sahur. Bagi para pekerja tersebut, setiap menit yang dihabiskan untuk istirahat itu sangat berarti dalam mengembalikan stamina mereka buat kembali bekerja di pagi harinya.

Atau... pernah kepikiran gak sih kalo di sekitar masjid tersebut ada orang non muslim? Pernah memperhatikan mereka? Tetangga gue ada non muslim. Mereka adalah seorang kakek-kakek dan nenek-nenek. Bertahun-tahun musti melalui gelombang toa masjid ini karena rumahnya yang sangat dekat dengan lokasi masjid. Si nenek pernah mengakui ke emak gue kalo doi sebenernya merasa terganggu, cuman ya gimana, dia terlalu takut untuk mengungkapkannya ke orang-orang yang bersangkutan. Ya, you know lah, sebagai orang minoritas, mereka pasti punya perasaan inferior dalam membawa isu lintas agama seperti ini. 


Ya jangankan mereka, kita sebagai sesama muslim pun kalo bermaksud mengutarakan pendapatnya yang kontradiktif, pasti ujung-ujungnya bakal kena getahnya sendiri. Tau kasus kakek tua di Aceh yang dipojokan sama orang-orang karena meminta volume toa masjid agar dikecilkan? Yang belum tau, bisa baca full di mari.


Sebenernya tetangga gue pun lagi sakit juga. Kalo gak salah kemaren abis dioperasi karena penyakit diabetesnya. Dan bicara tentang sakit, emak gue sendiri lagi juga sakit pada telinganya, ada dengung di telinga yang menganggu pendengarannya. Nah, apakah pengurus masjid yang menggunakan toa dengan cara berlebihan tau tentang kondisi orang-orang ini? Hmmm...

Kita tinggal di masyarakat yang heterogen, ada banyak kepentingan yang berbeda di dalamnya, which is hal tersebut mengarahkan kita pada bentuk kesadaran akan penyesuaian diri yang berbeda-beda pula, bukannya memaksa kaum minoritas untuk menyesuaikan diri terhadap budaya kelompok mayoritas. Kan dari SD kita udah diajarkan untuk saling bertoleransi. Maksudnya lucu, dari dulu di Indonesia yang sering gue denger adalah orang muslim yang selalu meminta sikap hormat dari orang-orang yang berada di luar golongannya. Kita sering menuntut sikap kaum non muslim untuk menghormati orang yang lagi berpuasa agar gak makan di depan kita, agar menutup warung makannya di siang hari, tapi apakah orang muslimnya sendiri memperhatikan mereka ketika menggunakan toa masjid dengan cara yang minim muatan toleransi? Setiap dikasih tau, selalu berkilah... dikata menistakan agama lah, dikata inilah, dikata itulah... hehe...


Gue di sini gak bermaksud membuat tulisan provokatif berbau sara. Gue cuman pengen ngajak masyarakat untuk saling berintrospeksi diri aja mengenai masalah toleransi antarumat beragama, dan ini gak hanya berlaku pada orang muslim aja loh ya... hehe... (mengingat pengalaman hidup di mana waktu kecil pernah diejek sama segerombolan bocah yang gak berpuasa ketika gue lagi berpuasa di bulan puasa... yo dawg...)


Sebelon gue dicap liberal ato apalah, gue mau memberikan kejelasan bahwa gue bukan orang yang menganut prinsip hidup seperti itu. Ini cuman klarifikasi awal aja terhadap tipologi masyarakat kita yang emang sukar diprediksi dengan segala manuver prejudicenya.


Lanjut ke masalah penggunaan toa masjid untuk ngebangunin orang sahur. Gue gak minta bahwa kegiatan rutin bangunin orang sahur selama bulan Ramadhan ditiadakan. Gue cuman menawarkan semacam jalan tengah untuk kebaikan semua pihak (ya siapa tau aja kan yang baca tulisan ada yang merupakan pengurus masjid).


Jadi di sini gue menulis beberapa masukan untuk kegiatan ngebangunin orang sahur dari mulai timing sampai tata cara penggunaan toa masjid. Kayak gimana bentuknya? Kita mulai dari masalah timing atau pemilihan waktu. Jujur, gue pribadi merasa agak terganggu ama kegiatan ngebangunin orang sahur yang dilakukan dengan memakai toa masjid dari jam setengah 3 secara nontsop selama 1 jam ke depan. Kenapa gue merasa terganggu? Karena bahkan ketika gue udah bangun pun suara tersebut masih tersiar secara kencang. Maksudnya, gue bener-bener berasa kayak ditereakin orang tepat di telinga gue.


Seharusnya menurut gue, aktivitas ini diberikan masa interval, karena selain ini bisa memberikan waktu istirahat bagi telinga kita, interval ini juga bisa memberi waktu istirahat bagi suara/napas mereka. 


Win-win, toh?

Nah, untuk pembagian masa interval ini, gue memberikan beberapa opsi, yaitu:

1. Interval 15 Menit

Pengurus masjid bisa memulai aktivitas ngebangunin orang sahur dari jam setengah 3 selama kurang lebih 15 detik tiap 15 menit sampai jam setengah 4. Jadi kayak semacem dikasih jeda waktu gitu tiap 15 menit.

2. Interval 10 Menit

Ini juga bisa dijadikan alternatif pilihan. Teknisnya hampir sama dengan yang di atas, cuman bedanya aktivitas ini dimulai dari jam 3 dengan masa interval 10 menit di mana masing-masing titik interval diisi dengan 10 detik kegiatan tersebut.

3. Nonstop 15 Menit

Pilihan ini juga bisa dilakukan, tapi dengan catatan start yang dimulai dari 15 menit awal dari jam setengah 3, atau 15 menit terakhir sampai jam setengah 4. Gue pikir nyiapin makanan dari jam setengah 4 juga masih keburu lah buat bisa sahur. Nyiapin makanannya juga gak usah ribet-ribet banget kan kalo buat sahur mah, paling cuman 15 menit, makan pun palingan sekitar 10 menit, dan setelah itu pun orang juga masih punya waktu sekitar 30 menit lebih sampe waktu imsak.

Selain masalah timing, gue juga memberikan masukan soal penggunaan toa masjid. Menurut gue, toa masjid tersebut seharusnya bisa digunakan tidak dalam volume yang maksimal. Seriusan, pengurus masjid deket rumah gue itu menggunakan toa dengan volume yang super kenceng, bahkan lebih kenceng dari suara adzan dan ngaji. Gue bahkan kadang suka gak ngeh kalo udah masuk waktu maghrib lantaran suara adzan maghrib di masjid deket rumah yang terlalu kecil... udah pada kering kali tenggorokannya ya...

Gimana gak stres, udah volumenya dikencengin, orangnya pun ngebangunin dengan cara yang gak nyantai. Maksudnya kalo bangunin orang sahurnya dilakukan dengan cara yang biasa aja sih gue gak bakalan bereaksi seperti ini, lah ini pengurus masjid di deket rumah ngebanguninnya dengan tereak-tereak. Siapa yang gak emosi ketika ngedengerin orang tereak-tereak pake urat lewat toa masjid dengan volume maksimal? Lah itu orang mau bangunin orang sahur atau ngajakin ribut? Para marbotnya sih enak paginya bisa tidur atau istirahat, lah kita yang pagi-pagi musti berangkat kerja lagi?

Gue sih mendingan tradisi bangunin orang sahur yang dilakukan oleh anak komplek dengan cara berkeliling sambil mukul pentungan dari pada dengan cara yang menggunakan toa masjid sebagai medium. Maksudnya seenggaknya kalo make cara keliling itu suaranya gak konstan (karena mereka kan berkeliling) dan gak sekeras toa masjid. Lagian efeknya terhadap orang-orang komplek juga lebih merata dan seimbang kan karena kegiatannya yang berkeliling.

Lagian, emangnya kita ini tinggal di jaman apa sih? Kita udah punya gadget bernama hape. Gue pikir rata-rata semua orang yang tinggal di komplek pasti punya hape lah, dan sekuno-kunonya hape mereka, pasti ada yang namanya fitur alarm. Poin gue adalah penggunaan media toa masjid itu adalah cara sekunder. Masing-masing orang kalo emang udah niat mau puasa pasti udah berinisiatif sendiri dalam mempersiapkan dirinya untuk sahur. Intinya adalah dikarenakan cara ngebangunin orang sahur ini bersifat sekunder, jadinya ya implementasinya seharusnya gak usah terlalu lebay. At least, hormatin orang-orang yang pada dini hari butuh waktu untuk istirahat. Kita boleh nyari pahala, tapi jangan dengan cara yang nyusahin orang lain.

Sebenernya gue gak cuman sekedar ngomong atau ngeluh di tulisan ini. Gue sempet pengen ngomong langsung ke pengurus masjid terkait untuk ngebahas masalah ini, cuman niat gue diurungkan oleh emak. Ya doi gak mau aja urusan kayak gini bisa jadi masalah yang lebih besar. 

Masalah yang jadi masalah.

Ya habis gimana, justru kalo gak dikomunikasiin, masalah ini tetep aja jadi masalah, gak ada jalan keluar dan gak ada pengertian bersama.

Sebenernya maksud gue mau ngomong tuh bukannya yang kesannya itu gue mau ngomel-ngomel. Justru gue mau berkomunikasi secara baik-baik. Gue ingin menyampaikan poin-poin di atas agar bisa menjadi jalan tengah untuk pengertian bersama. 

Ato gak, kalo gak bisa ngomong langsung, minimal gue bisa kasih pesan singkat (sms) aja deh, seenggaknya biar pesan gue dibaca ama doi. Untuk rencana tersebut, ya tanyalah gue nomor pengurus masjid tersebut ke emak, anggap aja namanya Pak Dudu.

"Bu, nomornya Pak Dudu tuh berapa sih? Pengen nyampein keluhan nih Idham," tanya gue.

"Lah, Pak Dudu kan udah meninggal."

"..."

Well.. ini agak canggung...

"Jadi yang dari kemarin itu make toa masjid siapa...?" tanya gue lagi.

"Ya itu anaknya," jawab si emak dengan kalem.

"Ooh..."

Gue baru inget kalo Pak Dudu itu udah meninggal sekitar 2 tahun yang lalu. Abisan suara bapak-anak hampir sama, sih... Yah, gue ulang aja deh doa gue 2 tahun lalu, semoga beliau bisa diberikan tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Aminnn.

Tapiii... 

Hal ini gak menghapus pemikiran gue tentang penggunaan toa masjid yang, ehm, sori, terkesan egosentris. Gue tetap ingin berkomunikasi dengan pengurus masjid belakang. 

Cuman... 

tetep... 

Emak gue ngelarang. Ya, soalnya kita sama-sama tau juga sih, kalo menyangkut urusan ini, tekadang orang-orang yang seperti itu gak cukup open-minded untuk bisa menerima pendapat orang luar. Ya coba aja liat dari kisah kakek-kakek Aceh yang gue share di atas. RT-nya aja gak berani. Pemerentah aja kalo ngehimbau malah balik diserang kan?

Jadinya ya... gimana ya... jadi gantung kan ending tulisan gue... emang dasarnya lagi males nulis aja sih... huh.







0 comments:

Post a Comment