“Towenawewenawanetaionaoitnaotoitnotitnotitooooooot”
Seketika gue terbangun oleh suara
alarm telepon genggam yang dari penulisannya, terasa kayak gue mau ngedeskripsiin
suara kentut gorila yang abis keselek terompet. Gue harus berenti masang ringtone alarm dari rekaman suara kentut
gue sendiri.
Gue ngeliat hape, waktu menunjukan
jam setengah 5 pagi. Gue pun langsung bergegas ke kamar mandi untuk bebersih
badan. Dinginnya aer pagi hari di Bandung membuat gue cuman bertahan semenit di
kamar mandi. Gue cuman sempet keramas bulu idung doang. Selesai mandi (baca:
keramas bulu idung), gue ngaca, idung gue kebakar, ternyata mengganti shampo
dengan odol bukanlah ide yang brilian. Setelah solat, gue langsung rapi-rapi.
Dasi di leher, kemeja putih membungkus badan, dan celana bahan membentang rapi
sampai ujung mata kaki. Ini bukan hari-hari biasanya di mana gue bangun jam
setengah 5 pagi dan langsung stand by
rapi memakai outfit formal. Hari itu
adalah momen pelepasan mahasiswa Telkom University. Ya, itu adalah hari wisuda
gue.
Keluarga gue dateng dari malem
sebelumnya. Mereka nginep di kost gue. Kebetulan bapak kostnya yang merupakan
temen Babeh menyediakan kamar untuk mereka. Tentu ini memberikan kemudahan dan
efisiensi waktu bagi keluarga gue. Mengingat acara dimulai jam 7 pagi dan
kondisi lalu lintas yang berkonsentrasi di daerah sekitar kampus pasti akan
sangat macet. Jadi daripada bermalam di penginapan yang jaraknya agak jauh dan
berisiko kena macet, mendingan nginep di kost aja yang letaknya dekat dengan
kampus.
Gue berangkat sekitaran jam setengah
6 dari kost, meninggalkan keluarga yang akan nyusul ke kampus sekitar jam 7. Gue
jalan dari kost ke kampus, lengkap dengan pantofel dan setelan kemeja gue.
Terakhir gue jalan ke kampus dengan dandanan kayak gini adalah ketika mau sidang
skripsi. Kalo flashback ke
jaman-jamannya skripsian, gue jadi paham betapa berharganya gelar sarjana yang
gue rengkuh ini. Gimana dulu gonta-ganti judul, digocek dosen, observasi dan
dokumentasi sampe tengah malem, hingga jalanin sidang akhir dalam keadaan belom
tidur semaleman. Ya ini adalah bagian dari skripsian. Ya gue rasa semua orang
juga pasti punya obstacles dalam
ngegarap skripsi, apapun bentuknya itu.
Seraya langkah kaki membawa badan ke
depan, perasaan ini masih terbawa kenangan di belakang. Perjalanan pendek dari
kost ke kampus ini pun seperti cermin perjalanan panjang dari maba menuju
Sarjana Ilmu Komunikasi, di mana tiap jejak langkah yang gue tinggalkan melukiskan
fase-fase perjalanan 4 tahun kuliah gue di Telkom. Langkah pertama yang gue
jejakan saat keluar dari pintu kost adalah momen awal ketika gue mendaftarkan
diri sebagai mahasiswa Telkom. Sandungan batu yang gue terima merupakan pengalaman
ospek yang pernah gue lalui. Selengkatan bocah kampung yang gue rasakan
mencerminkan aral terjal gue saat menghadapi gelombang tugas kuliah (yang
kemudian gue bales bocah kampung tersebut dengan ngegebok dia make bangku). Dan rentetan
jejak langkah yang gue tapaki merefleksikan tahun-tahun yang gue lewatkan di
Telkom University sampai akhirnya langkah ini mendaratkan diri di depan Telkom
Convention Hall.
Nyampe sana kondisi masih belom terlalu rame. Gue ngeliat sekeliling; ada wisudawan-wisudawati, ada orang tua mereka, ada tukang poto dan lain-lainnya yang menggambarkan pemandangan khas acara wisuda. Ekspresi bahagia tergambar di wajah para pemakai toga. Orang tua mereka keliatan bangga melihat anaknya akan diresmikan sebagai lulusan srata satu. Gak kerasa. Perasaan baru kemaren gue make seragam kuliah Telkom, tau-tau sekarang udah make toga aja. Gue mengalami evolusi status, dari yang awalnya gue sebagai junior menyebut ‘senior’ untuk angkatan di atas gue, kemudian menjadi gue yang disebut ‘senior’ oleh junior, hingga sekarang gue mendapat sebutan alumni.
Nyampe sana kondisi masih belom terlalu rame. Gue ngeliat sekeliling; ada wisudawan-wisudawati, ada orang tua mereka, ada tukang poto dan lain-lainnya yang menggambarkan pemandangan khas acara wisuda. Ekspresi bahagia tergambar di wajah para pemakai toga. Orang tua mereka keliatan bangga melihat anaknya akan diresmikan sebagai lulusan srata satu. Gak kerasa. Perasaan baru kemaren gue make seragam kuliah Telkom, tau-tau sekarang udah make toga aja. Gue mengalami evolusi status, dari yang awalnya gue sebagai junior menyebut ‘senior’ untuk angkatan di atas gue, kemudian menjadi gue yang disebut ‘senior’ oleh junior, hingga sekarang gue mendapat sebutan alumni.
Di sana gue ketemu Bimo dan orang
tua-nya. Selang ngobrol beberapa saat, temen-temen gue yang laen pun mulai
berdatangan. Kita ngumpul, bercengkrama, dan melepas rasa kangen dalam suasana
penuh haru bahagia. Beberapa dari kita emang udah jarang untuk saling ketemu di
masa-masa tingkat akhir, khususnya gue. Dari jamannya skripsian gue emang udah
kayak ansos. Anak-anak biasanya ngerjain skripsi rame-rame diskusi bareng,
sedangkan gue malah kerjain sendiri. Waktu semester 8 juga frekuensi gue buat
ke kampus sangat-sangat kecil. Alasan pertama karena emang dosen pembimbing gue
merupakan dosen luar, jadi tiap bimbingan gue musti nempuh perjalanan 1,5 jam
ngangkot dari Dayeuh Kolot ke kampus Unikom yang berada di daerah Dipati Ukur.
Kalo diinget-inget sih lumayan juga effort-nya,
yaa pokoknya panas dan ujan badai (literally)
pernah gue rasain deeh. Belom kalo misalnya dosen udah ngebatalin janji, atau
pas udah ketemu malah ditinggal cabut.
Alasan yang kedua kenapa gue jarang
keliatan di kampus adalah seperti yang gue bilang di alinea sebelumnya, bahwa
gue musti ngikutin subjek penelitian gue ke mana pun dia berada. Dalam hal ini
informan gue merupakan seorang mahasiswa yang lagi magang di Jakarta. Dalam hal
ini kita nentuin tempat ketemuan di daerah Depok, karena dia ngekost-nya di
daerah sono. Dengan kata lain, gue musti bolak-balik Bandung-Bekasi-Depok buat
penelitian dan bimbingan skripsi. Jadinya waktu gue di kampus emang cuman
terbatas pada ke perpus dan sekretariat kampus buat ngurusin administrasi
segala macem.
Sialnya, jarang ke kampus dan ketemu
temen membuat gue ketinggalan banyak informasi, salah satunya yang paling fatal
adalah pendaftaran sidang. Sebenernya skripsi gue udah di-acc dosen sekitaran
bulan Maret. Di lain sisi, periode pendafataran sidang itu jatuh pada bulan
April. Dan di sinilah begonya gue, selama itu asumsi gue adalah mahasiswa bisa
daftar sidang kapan aja, soalnya seinget gue emang angkatan di atas gue
sebelomnya ngejalanin prosedur yang kayak gitu. Namun, kenyataan berbicara
sebaliknya. Gue ketinggalan gelombang sidang dan bahkan pada periode tersebut,
gue belom nyiapin berkas-berkas persyaratan untuk daftar sidang. Transkrip TAK,
sertifikat TOEFL, dan surat keterangan tetek bengek lainnya belom gue urusin. Yah,
beginilah... Secara teknis, seharusnya gue wisuda Agustus, tapi karena kebegoan
gue, jadinya gue musti terima untuk diundur wisudanya.
Wisuda Bagian 1