Friday, February 13, 2015

Wisuda Bagian 1

“Towenawewenawanetaionaoitnaotoitnotitnotitooooooot”
           
Seketika gue terbangun oleh suara alarm telepon genggam yang dari penulisannya, terasa kayak gue mau ngedeskripsiin suara kentut gorila yang abis keselek terompet. Gue harus berenti masang ringtone alarm dari rekaman suara kentut gue sendiri.

Gue ngeliat hape, waktu menunjukan jam setengah 5 pagi. Gue pun langsung bergegas ke kamar mandi untuk bebersih badan. Dinginnya aer pagi hari di Bandung membuat gue cuman bertahan semenit di kamar mandi. Gue cuman sempet keramas bulu idung doang. Selesai mandi (baca: keramas bulu idung), gue ngaca, idung gue kebakar, ternyata mengganti shampo dengan odol bukanlah ide yang brilian. Setelah solat, gue langsung rapi-rapi. Dasi di leher, kemeja putih membungkus badan, dan celana bahan membentang rapi sampai ujung mata kaki. Ini bukan hari-hari biasanya di mana gue bangun jam setengah 5 pagi dan langsung stand by rapi memakai outfit formal. Hari itu adalah momen pelepasan mahasiswa Telkom University. Ya, itu adalah hari wisuda gue.

Keluarga gue dateng dari malem sebelumnya. Mereka nginep di kost gue. Kebetulan bapak kostnya yang merupakan temen Babeh menyediakan kamar untuk mereka. Tentu ini memberikan kemudahan dan efisiensi waktu bagi keluarga gue. Mengingat acara dimulai jam 7 pagi dan kondisi lalu lintas yang berkonsentrasi di daerah sekitar kampus pasti akan sangat macet. Jadi daripada bermalam di penginapan yang jaraknya agak jauh dan berisiko kena macet, mendingan nginep di kost aja yang letaknya dekat dengan kampus.

Gue berangkat sekitaran jam setengah 6 dari kost, meninggalkan keluarga yang akan nyusul ke kampus sekitar jam 7. Gue jalan dari kost ke kampus, lengkap dengan pantofel dan setelan kemeja gue. Terakhir gue jalan ke kampus dengan dandanan kayak gini adalah ketika mau sidang skripsi. Kalo flashback ke jaman-jamannya skripsian, gue jadi paham betapa berharganya gelar sarjana yang gue rengkuh ini. Gimana dulu gonta-ganti judul, digocek dosen, observasi dan dokumentasi sampe tengah malem, hingga jalanin sidang akhir dalam keadaan belom tidur semaleman. Ya ini adalah bagian dari skripsian. Ya gue rasa semua orang juga pasti punya obstacles dalam ngegarap skripsi, apapun bentuknya itu.

Seraya langkah kaki membawa badan ke depan, perasaan ini masih terbawa kenangan di belakang. Perjalanan pendek dari kost ke kampus ini pun seperti cermin perjalanan panjang dari maba menuju Sarjana Ilmu Komunikasi, di mana tiap jejak langkah yang gue tinggalkan melukiskan fase-fase perjalanan 4 tahun kuliah gue di Telkom. Langkah pertama yang gue jejakan saat keluar dari pintu kost adalah momen awal ketika gue mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Telkom. Sandungan batu yang gue terima merupakan pengalaman ospek yang pernah gue lalui. Selengkatan bocah kampung yang gue rasakan mencerminkan aral terjal gue saat menghadapi gelombang tugas kuliah (yang kemudian gue bales bocah kampung tersebut dengan ngegebok dia make bangku). Dan rentetan jejak langkah yang gue tapaki merefleksikan tahun-tahun yang gue lewatkan di Telkom University sampai akhirnya langkah ini mendaratkan diri di depan Telkom Convention Hall.

Nyampe sana kondisi masih belom terlalu rame. Gue ngeliat sekeliling; ada wisudawan-wisudawati, ada orang tua mereka, ada tukang poto dan lain-lainnya yang menggambarkan pemandangan khas acara wisuda. Ekspresi bahagia tergambar di wajah para pemakai toga. Orang tua mereka keliatan bangga melihat anaknya akan diresmikan sebagai lulusan srata satu. Gak kerasa. Perasaan baru kemaren gue make seragam kuliah Telkom, tau-tau sekarang udah make toga aja. Gue mengalami evolusi status, dari yang awalnya gue sebagai junior menyebut ‘senior’ untuk angkatan di atas gue, kemudian menjadi gue yang disebut ‘senior’ oleh junior, hingga sekarang gue mendapat sebutan alumni.

Di sana gue ketemu Bimo dan orang tua-nya. Selang ngobrol beberapa saat, temen-temen gue yang laen pun mulai berdatangan. Kita ngumpul, bercengkrama, dan melepas rasa kangen dalam suasana penuh haru bahagia. Beberapa dari kita emang udah jarang untuk saling ketemu di masa-masa tingkat akhir, khususnya gue. Dari jamannya skripsian gue emang udah kayak ansos. Anak-anak biasanya ngerjain skripsi rame-rame diskusi bareng, sedangkan gue malah kerjain sendiri. Waktu semester 8 juga frekuensi gue buat ke kampus sangat-sangat kecil. Alasan pertama karena emang dosen pembimbing gue merupakan dosen luar, jadi tiap bimbingan gue musti nempuh perjalanan 1,5 jam ngangkot dari Dayeuh Kolot ke kampus Unikom yang berada di daerah Dipati Ukur. Kalo diinget-inget sih lumayan juga effort-nya, yaa pokoknya panas dan ujan badai (literally) pernah gue rasain deeh. Belom kalo misalnya dosen udah ngebatalin janji, atau pas udah ketemu malah ditinggal cabut.

Alasan yang kedua kenapa gue jarang keliatan di kampus adalah seperti yang gue bilang di alinea sebelumnya, bahwa gue musti ngikutin subjek penelitian gue ke mana pun dia berada. Dalam hal ini informan gue merupakan seorang mahasiswa yang lagi magang di Jakarta. Dalam hal ini kita nentuin tempat ketemuan di daerah Depok, karena dia ngekost-nya di daerah sono. Dengan kata lain, gue musti bolak-balik Bandung-Bekasi-Depok buat penelitian dan bimbingan skripsi. Jadinya waktu gue di kampus emang cuman terbatas pada ke perpus dan sekretariat kampus buat ngurusin administrasi segala macem.

Sialnya, jarang ke kampus dan ketemu temen membuat gue ketinggalan banyak informasi, salah satunya yang paling fatal adalah pendaftaran sidang. Sebenernya skripsi gue udah di-acc dosen sekitaran bulan Maret. Di lain sisi, periode pendafataran sidang itu jatuh pada bulan April. Dan di sinilah begonya gue, selama itu asumsi gue adalah mahasiswa bisa daftar sidang kapan aja, soalnya seinget gue emang angkatan di atas gue sebelomnya ngejalanin prosedur yang kayak gitu. Namun, kenyataan berbicara sebaliknya. Gue ketinggalan gelombang sidang dan bahkan pada periode tersebut, gue belom nyiapin berkas-berkas persyaratan untuk daftar sidang. Transkrip TAK, sertifikat TOEFL, dan surat keterangan tetek bengek lainnya belom gue urusin. Yah, beginilah... Secara teknis, seharusnya gue wisuda Agustus, tapi karena kebegoan gue, jadinya gue musti terima untuk diundur wisudanya.

Hal-hal tersebutlah yang membuat gue selalu mendapat pertanyaan, “Dham, lo ke mana aja??” Oleh karena itu momen-momen kayak gini menjadi terkesan seperti acara reunian bagi para mahasiswa. Ya, reunian yang justru merupakan kamuflase dari acara perpisahan. Kita kembali bertemu di acara terakhir kita bisa bertemu. 

0 comments:

Post a Comment